Kebudayaan Hindu - Buddha di
Indonesia
Perkembangan pengaruh
Hindu-Buddha yang penting meliputi tiga hal, yakni :
·
Dengan berkembangnya
pengaruh Hindu-Buddha, maka bangsa Indonesia memasuki zaman Sejarah
·
Kesenian yang bercorak
Hindu-Buddha berkembang di Indonesia
·
Di Indonesia berdiri
kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha
Jalur perdagangan India-Cina melalui Indonesia
Wilayah Indonesia terdiri atas pulau besar dan kecil yang dihubungkan oleh selat dan laut, hal ini menyebabkan sarana pelayaran merupakan lalu lintas utama penghubung antarpulau. Pelayaran ini dilakukan dengan rangka mendorong aktivitas perdagangan. Pelayaran perdagangan yang dilakukan oleh kerajan-kerajaan di Indonesia bukan hanya dalam wilayah Indonesia saja, tetapi telah jauh sampai ke luar wilayah Indonesia.
Pelayaran dan perdagangan di Asia semakin ramai setelah ditemukan jalan melalui laut antara Romawi dan Cina. Rute jalur laut yang dilalui dalam hubungan dagang Cina dan Romawi telah mendorong munculnya hubungan dagang pada daerah-daerah yang dilalui, termasuk wilayah Indonesia oleh karena posisi Indonesia yang strategis di tengah-tengah jalur hubungan dagang Cina dengan Romawi, maka terjadillah hubungan dagang antara kerajaan-kerajaan di Indonesia dan Cina beserta India.
Teori masuknya dan berkembangnya Agama serta Kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia
Melalui hubungan perdagangan, berkembanglah kebudayaan-kebudayaan yang dibawa oleh para pedagang di Indonesia. Hubungan perdagangan antara Indonesia dan India membawa agama Hindu dan Buddha tersebar di Indonesia serta dianut oleh raja-raja dan para bangsawan. Dari lingkungan raja dan bangsawan itulah agama Hindu-Buddha tersebar ke lingkungan rakyat biasa.
Penyiaran Agama Buddha di Indonesia. Agama Buddha masuk ke Indonesia dibawa oleh para biksu. Antara lain seorang biksu dari Kashmir bernama Gunawarman datang ke Indonesia sekitar tahun 240. Gunawarman adalah seorang biksu Buddha Hinayana. Pada tahun-tahun berikutnya, para biksu Buddha dari Perguruan Tinggi Nalanda (Benggala, India) pun datang ke Indonesia. Makin lama pengaruh Buddha makin berkembang di Indonesia.
Penyiaran agama Buddha di Indonesia lebih awal dari agama Hindu. Dalam penyebarannya agama Buddha mengenal adanya misi penyiar agama yang disebut, Dharmadhuta. Tersiarnya agama Buddha di Indonesia, diperkirakan sejak abad ke-2 Masehi, dibuktikan dengan penemuan Arca Buddha dari perunggu di Jember, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Arca-arca itu berlanggam Amarawati. Namun, belum diketahui siapa pembawanya dari India Selatan ke Indonesia. Di samping itu, juga ditemukan arca Buddha dari batu di Palembang.
Penyiaran Agama Hindu di Indonesia. Proses masuknya agama Hindu di Indonesia dibawa oleh kaum pedagang, baik pedagang India yang datang ke Indonesia maupun pedagang dari wilayah Indonesia yang berlayar ke India. Akan tetapi, di lain pihak terdapat beberapa teori yang berbeda tentang penyebaran agama Hindu ke Indonesia. Pendapat atau teori tersebut di antarannya :
·
Teori Sudra, menyatakan
bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India yang
berkasta Sudra, karena mereka dianggap sebagai orang-orang buangan.
·
Teori Waisya, menyatakan
bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India
berkasta Waisya, karena mereka terdiri atas para pedagang yang datang dan
kemudian menetap di salah satu wilayah di Indonesia. Bahkan banyak di antara
pedagang itu yang menikah dengan wanita setempat.
·
Teori Ksatria, menyatakan
bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India
berkasta Ksatria. Hal ini disebabkan terjadi kekacauan politik di India,
sehingga para Ksatria yang kalah melarikan diri ke Indonesia. Mereka lalu
mendirikan kerajaan-kerajaan dan menyebarkan agama Hindu.
·
Teori Brahmana,
menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu dilakukan oleh kaum Brahmana.
Kedatangan mereka ke Indonesia untuk memenuhi undangan kepala suku yang
tertarik dengan agama Hindu. Kaum Brahmana yang datang ke Indonesia inilah yang
mengajarkan agama Hindu ke masyarakat.
Dari keempat teori tersebut, hanya teori Brahmana yang dianggap sesuai dengan bukti-bukti yang ada. Bukti-bukti tersebut diantaranya :
·
Agama Hindu bukan agama
yang demokratis, karena urusan keagamaan menjadi monopoli kaum Brahmana,
sehingga hanya golongan Brahmana yang berhak dan mampu menyiarkan agama Hindu.
·
Prasasti yang pertama
kali ditemukan berbahasa Sansekerta, sedangkan di India bahasa itu hanya digunakan
dalam kitab suci dan upacara keagamaan. Jadi, hanya kaum Brahmana-lah yang
mengerti dan menguasai penggunaan bahasa tersebut.
Perkembangan Agama dan Kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia
Tersebarnya pengaruh Hindu dan Buddha di Indonesia menyebabkan terjadinya berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Perubahan-perubahan itu terlihat dengan jelas pada kehidupan masyarakat Indonesia di berbagai daerah di Indonesia.
Fakta tentang Proses Interaksi Masyarakat di Berbagai Daerah dengan Tradisi Hindu-Buddha
Masuk dan berkembangnya pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia menimbulkan perpaduan budaya antara budaya Indonesia dengan budaya Hindu-Buddha. Perpaduan dua budaya yang berbeda ini dapat disebut dengan akulturasi, yaitu dua unsur kebudayaan bertemu dan dapat hidup berdampingan serta saling mengisi dan tidak menghilangkan unsur-unsur asli dari kedua kebudayaan tersebut.
Namun, sebelum masuknya pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha, masyarakat di wilayah Indonesia telah memiliki kebudayaan yang cukup maju. Unsur-unsur kebudayaan asli telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Unsur-unsur kebudayaan Hindu-Buddha yang masuk ke Indonesia diterima dan diolah serta disesuaikan dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia, tanpa menghilangkan unsur-unsur asli.
Oleh karena itu, Kebudayaan Hindu-Buddha yang masuk ke Indonesia tidak diterima begitu saja. Hal ini disebabkan :
·
Masyarakat di Indonesia
telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi, sehingga masuknya
kebudayaan asing menambah perbendaharaan kebudayaan Indonesia.
·
Masyarakat di Indonesia
memiliki kecakapan istimewa yang disebut dengan local genius, yaitu kecakapan
suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah
unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadiannya.
Munculnya pengaruh Hindu-Buddha (India) di Indonesia sangat besar dan dapat terlihat melalui beberapa hal seperti :
·
Seni Bangunan. Seni
Bangunan yang menjadi bukti berkembangnya pengaruh Hindu Buddha di Indonesia
pada bangunan Candi. Candi Hindu maupun Candi Buddha ditemukan di Sumatera,
Jawa, dan Bali pada dasarnya merupakan perwujudan akulturasi budaya lokal
dengan bangsa India. Pola dasar candi merupakan perkembangan dari zaman
prasejarah tradisi megalitikum, yaitu bangunan punden berundak yang mendapat
pengaruh Hindu-Buddha, sehingga menjadi wujud candi, seperti Candi Borobudur.
·
Seni Rupa. Unsur seni
rupa atau seni lukis India telah masuk ke Indonesia. Hal ini terbukti dengan
telah ditemukannya arca Buddha berlanggam Gandara di kota Bangun, Kutai. Juga
patung Buddha berlanggam Amarawati ditemukan di Sikendeng (Sulawesi Selatan). Seni
rupa India pada Candi Borobudur ada pada relief-relief ceritera Sang Buddha
Gautama. Relief pada Candi Borobudur pada umumnya lebih menunjukkan suasanan
alam Indonesia, terlihat dengan adanya lukisan rumah panggung dan hiasan burung
merpati. Di samping itu, juga terdapat hiasan perahu bercadik. Lukisan-lukisan
tersebut merupakan lukisan asli Indonesia, karena lukisan seperti itu tidak
pernah ditemukan pada candi-candi yang ada di India. Juga relieef Candi
Prambanan yang memuat ceritera Ramayana.
·
Seni Sastra. Seni sastra
India turut memberi corak dalam seni sastra Indonesia. Bahasa sansekerta sangat
besar pengaruhnya terhadap perkembangan sastra Indonesia. Prasasti-prasasti
awal menunjukkan pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia, seperti yang ditemukan di
Kalimantan Timur, Sriwijaya, Jawa Barat, Jawa Tengah. Prasasti itu ditulis
dalam bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Dalam perkembangan bahasa Indonesia
dewasa ini, pengaruh bahasa Sansekerta cukup dominan terutama dalam
istilah-istilah pemerintahan juga kitab-kitab kuno di Indonesia banyak yang
menggunakan bahasa Sansekerta. Contohnya adalah :
o
Arujunawiwaha, karya Empu
Kanwa pada zaman pemerintahannya Airlangga.
o
Bharatayudha, karya Empu
Sedah dan Empu Panuluh pada zaman kerajaan Kediri.
o
Gatutkacasraya, karya
Empu Panuluh pada zaman Kerajaan Kediri.
o
Arjunawijaya, kerya Empu
tantular pada zaman Kerajaan Majapahit.
·
Kalender. Diadopsinya
sistem kalender atau penanggalan India di Indonesia merupakan wujud dari
akulturasi, yaitu dengan penggunaaan tahun Saka. Di samping itu, juga ditemukan
Candra Sangkala atau kronogram dalam usaha memperingati peristiwa dengan tahun
atau kalender Saka. Candra Sangkala adalah angka huruf berupa susunan kalimat
atau gambaran kata. Bila berupa gambar harus dapat diartikan kedalam bentuk
kalimat.
·
Kepercayan dan Filsafat.
Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha ke Indonesia. bangsa Indonesia telah
mengenal dan memiliki kepercayaan, yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang.
Kepercayaan itu bersifat animisme dan dinamisme. Kemudian, masuknya pengaruh
Hindu-Buddha ke Indonesia mengakibatkan terjadinya akulturasi. Masuk dan
berkembangnya pengaruh terutama terlihat dari segi pemujaan terhadap roh nenek
moyang dan pemujaan dewa-dewa alam.
·
Pemerintahan. Sebelum
masuknya pengaruh Hindu-Buddha, bangsa Indonesia mengenal sistem pemerintahan.
Sistem pemerintahan kepala suku berlangsung secara demokratis, yaitu salah
seorang kepala suku merupakan pemimpin yang dipilih dari kelompok sukunya,
karena memiliki kelebihan dari anggota kelompok suku lainnya. Akan tetapi,
setelah masuknya pengaruh Hindu-Buddhha, tata pemerintahan disesuaikan dengan
sistem kepala pemerintahan yang berkembang di India. Seorang kepala
pemerintahan bukan lagi seorang kepala suku, melainkan seorang raja, yang
memerintahkan kerajaannya secara turun-temurun. ( Bukan lagi ditentukan oleh
kemampuan, melainkan oleh keturunan).
Faktor-faktor penyebab runtuhnya kerajaan bercorak Hindu-Buddha
Perkembangan pengaruh agama dan kebudayaan Hindu-Buddha cukup besar, karena dapat memengaruhi seluruh sektor kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan, tidak kurang dari seribu tahun pengaruh Hindu-Buddha dominan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan melalui perkembangan kerajaan Kutai hingga runtuhnya kerajaan Majapahit.
Terdapat beberapa hal yang menyebabkan runtuhnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha diwilayah Indonesia.
·
Terdesaknya
kerajaan-kerajaan sebagai akibat munculnya kerajaan yang lebih besar dan lebih
kuat.
·
Tidak ada peralihan
kepemimpinan atau kaderisasi, seperti yang terjadi pada mas kekuasaan Kerajaan
Majapahit
·
Berlangsungnya perang
saudara yang justru melemahkan kekuasaan kerajaan, seperti yang terjadi pada
kerajaan Syailendra dan Majapahit
·
Banyak daerah yang
melepaskan diri akibat lemahnya pengawassan pemerintahan pusat dan raja-raja
bawahan membangun sebuah kerajaan yang merdeka serta tidak terikat lagi oleh
pemerintahan pusat
·
Kemunduran ekonomi dan
perdagangan. Akibat kelemahan pemerintah pusat, masalah perekonomian dan
perdagangan diambil alih para pedagangn Melayu dan Islam
·
Tersiarnya agama dan
budaya Islam, yang dengan mudah diterima para dipati di daerah pesisir. Hal ini
membuat mereka merasa tidak terikat lagi dengan pemerintahan kerajaan pusat
seperti pada kekuasaan kerajaan Majapahit.
Setelah kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha runtuh, seperti kerajaan Majapahit di daerah Jawa Timur dan
kerajaan Pajajaran di derah Jawa Barat, bukan berarti tradisi Hindu-Buddha juga
lenyap. Tradisi Hindu-Buddha masih terus bertahan sesuai dengan perkembangan
zaman. Bahkan pada daerah-daerah yang telah mendapat pengaruh Islam, tradisi
Hindu-Buddha tidak begitu saja menghilang. Misalnya pada masyarakat Jawa
terdapat upacara membawa sesaji ke sawah atau upacara persembahan kepada
penguasa Laut Selatan dan lain sebagainya.
Sementara itu, tradisi Hindu-Buddha masih terus bertahan dalam kehidupan masyarakat Bali. Setelah kerajaan Hindu Majapahit runtuh, banyak rakyat Majapahit yang pindah ke pulau Bali dan melanjutkan tradisi kehidupannya disana. Dalam kehidupan masyarakat Bali sering terdengar istilah Wong Majapahit atau sekelompok orang yang berasal dari Majapahit. Masyarakat Hindu Bali yang termasuk keturunan Majapahit memiliki tempat yang mayoritas. Sedangkan masyarakat Bali asli terdesak ke daerah-daerah pegunungan seperti ke daerah Trunyan, Tenganan (di daerah Bali bagian timur), Tigawasa, Sembiran (di daerah Bali Utara).
Bali juga dapat disebut sebagai museum hidup kebudayaan Hindu di Indonesia. Agama Hindu di Bali disebut dengan agama Hindu Dharma atau dengan Hindu dan Buddha. Roh nenek moyang dipuja oleh anak cucunya setelah jenazah dibakar (ngaben). Tempat pemujaannya dilakukan di Pura. Sementara itu, dewa-dewa dalam agama Hindu telah dimanifestasikan sebagai Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan Sang Hyang Widhi. Dalam penjelmaannya dapat disebut sebagai Dewa Brahma(pencipta), Dewa Wisnu(pemelihara), dan Dewa Siwa(pelabur/perusak). Di samping itu juga dipuja dewa-dewa yang telah disesuaikan dengan fungsi dan kedudukan dari dewa tersebut seperti Dewi Sri(dewa padi), Dewa Agni(dewa api), Dewa Baruna(dewa laut), Dewa Bayu(dewa angin), dan lain sebagainya.
Apabila kita perhatikan, ternyata perkembangan pengaruh Hindu-Buddha di wilayah Indonesia tidak meliputi seluruh masyarakat di kepulauan Indonesia. Bahkan dua kerajaan nasional yang pernah membawa harum nama Indonesia sampai ke luar wilayah Indonesia seperti Sriwijaya dan Majapahit, belum dapat mengembangkan pengaruhnya ke seluruh wilayah Indonesia. Pengaruh kerajaan Sriwijaya terbatas pada daerah-daerah di wilayah Indonesia bagian barat. Sedangkan kerajaan Majapahit yang berhasil mempersatukan seluruh wilayah Nusantara, ternyata kekuasannya hanya terbatas pada bidang politik yang dibuktikan dengan tunduknya mereka kepada Majapahit. Tetapi Majapahit tidak mengembangkan pengaruh budaya dan agama Hindu pada daerah-daerah yang dikuasainya. Sehingga ketika kerajaan Majapahit runtuh, mereka terus mengembangkan pola hidup seperti pada masa sebelum daerah tersebut dikuasai kerajaan Majapahit. Hal inilah yang menyebabkan perkembangan tradisi Hindu-Buddha tidak merata di kepulauan Indonesia. Daerah-daerah yang tidak mendapat pengaruh Hindu-Buddha di wilayah Indonesia antara lain Sulawesi, Kepulauan Maluku, Papua, dan Kepulauan Nusa Tenggara Timur.
Sementara itu, tradisi Hindu-Buddha masih terus bertahan dalam kehidupan masyarakat Bali. Setelah kerajaan Hindu Majapahit runtuh, banyak rakyat Majapahit yang pindah ke pulau Bali dan melanjutkan tradisi kehidupannya disana. Dalam kehidupan masyarakat Bali sering terdengar istilah Wong Majapahit atau sekelompok orang yang berasal dari Majapahit. Masyarakat Hindu Bali yang termasuk keturunan Majapahit memiliki tempat yang mayoritas. Sedangkan masyarakat Bali asli terdesak ke daerah-daerah pegunungan seperti ke daerah Trunyan, Tenganan (di daerah Bali bagian timur), Tigawasa, Sembiran (di daerah Bali Utara).
Bali juga dapat disebut sebagai museum hidup kebudayaan Hindu di Indonesia. Agama Hindu di Bali disebut dengan agama Hindu Dharma atau dengan Hindu dan Buddha. Roh nenek moyang dipuja oleh anak cucunya setelah jenazah dibakar (ngaben). Tempat pemujaannya dilakukan di Pura. Sementara itu, dewa-dewa dalam agama Hindu telah dimanifestasikan sebagai Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan Sang Hyang Widhi. Dalam penjelmaannya dapat disebut sebagai Dewa Brahma(pencipta), Dewa Wisnu(pemelihara), dan Dewa Siwa(pelabur/perusak). Di samping itu juga dipuja dewa-dewa yang telah disesuaikan dengan fungsi dan kedudukan dari dewa tersebut seperti Dewi Sri(dewa padi), Dewa Agni(dewa api), Dewa Baruna(dewa laut), Dewa Bayu(dewa angin), dan lain sebagainya.
Apabila kita perhatikan, ternyata perkembangan pengaruh Hindu-Buddha di wilayah Indonesia tidak meliputi seluruh masyarakat di kepulauan Indonesia. Bahkan dua kerajaan nasional yang pernah membawa harum nama Indonesia sampai ke luar wilayah Indonesia seperti Sriwijaya dan Majapahit, belum dapat mengembangkan pengaruhnya ke seluruh wilayah Indonesia. Pengaruh kerajaan Sriwijaya terbatas pada daerah-daerah di wilayah Indonesia bagian barat. Sedangkan kerajaan Majapahit yang berhasil mempersatukan seluruh wilayah Nusantara, ternyata kekuasannya hanya terbatas pada bidang politik yang dibuktikan dengan tunduknya mereka kepada Majapahit. Tetapi Majapahit tidak mengembangkan pengaruh budaya dan agama Hindu pada daerah-daerah yang dikuasainya. Sehingga ketika kerajaan Majapahit runtuh, mereka terus mengembangkan pola hidup seperti pada masa sebelum daerah tersebut dikuasai kerajaan Majapahit. Hal inilah yang menyebabkan perkembangan tradisi Hindu-Buddha tidak merata di kepulauan Indonesia. Daerah-daerah yang tidak mendapat pengaruh Hindu-Buddha di wilayah Indonesia antara lain Sulawesi, Kepulauan Maluku, Papua, dan Kepulauan Nusa Tenggara Timur.
_____________________________________________________________________________
Kebudayaan Islam di Indonesia
Penyebaran budaya Islam
di Indonesia berlangsung secara damai dan evolutif. Islam berkembang lewat
perantaraan bahasa Arab. Kontak awal Islam dengan kepulauan nusantara mayoritas
berlangsung di pesisir pantai, khususnya melalui aktivitas perdagangan antara
penduduk lokal dengan para pedagang Persia, Arab, dan Gujarat (India).
Kontak-kontak ini memungkinkan proses asimilasi, sinkretisasi, dan akulturisasi
budaya. Islam kemudian muncul sebagai competing culture India.
M.C. Ricklefs dari Australian National University
menyebutkan dua proses masuknya Islam ke nusantara. Pertama, penduduk pribumi
mengalami kontak dengan agama Islam dan kemudian menganutnya. Kedua,
orang-orang asing (Arab, India, Cina) pemeluk Islam menetap di suatu wilayah
Indonesia, kawin dengan penduduk asli, dan mengikuti gaya hidup lokal
sedemikian rupa sehingga mereka sudah menjadi orang Jawa, Melayu, atau suku
lainnya, lalu mendifusikan Islam.
Teori lain masuknya Islam ke nusantara diajukan
Supartono Widyosiswoyo. Menurutnya, penetrasi Islam dibagi ke dalam tiga jalur
yaitu: Jalur Utara, Jalur Tengah, dan Jalur Selatan. Ketiga jalur didasarkan
pada pangkal wilayah persebaran Islam yang memasuki Indonesia. Jalur Utara
adalah masuknya Islam dari Persia dan Mesopotamia. Dari sana, Islam bergerak ke
timur lewat jalur darat Afganistan, Pakistan, Gujarat, lalu menempuh jalur laut
menuju Indonesia. Lewat Jalur Utara ini, Islam tampil dalam bentuk barunya
yaitu aliran Tasawuf. Dalam aliran ini, Islam didifusikan lewat pengalaman
personal (eksperensial) dalam mendekati Tuhan. Aliran inilah yang paling cepat
mendorong konversi penduduk Indonesia ke dalam Islam nusantara. Aceh adalah
salah satu basis persebaran Islam Jalur Utara ini.
Jalur Tengah adalah masuknya Islam dari bagian barat
lembah Sungai Yordan dan bagian timur semenanjung Arabia (Hadramaut). Dari sini
Islam menyebar dalam bentuknya yang relatif asli, di antaranya aliran Wahhabi.
Pengaruhnya mengena di wilayah Sumatera Barat. Jalur ini terjadi sebab jika
bertolak dari Hadramaut, maka dengan perjalanan laut orang-orang Islam langsung
sampai ke pantai barat Sumatera. Konflik kaum adat dengan kaum agama dalam
Perang Paderi terjadi setelah pengaruh Islam lewat jalur ini.
Jalur Selatan pangkalnya di wilayah Mesir. Saat itu
Kairo merupakan pusat penyiaran agama Islam modern dan Indonesia memperoleh
pengaruhnya dalam organisasi keagamaan Muhammadiyah. Kegiatan lewat jalur ini
terutama pendidikan, dakwah, dan penentangan bid’ah.
Petunjuk tegas munculnya Islam pertama di nusantara
adalah nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir yang wafat tahun 608H
atau 1211 M, di pemakaman Lamreh, Sumatera bagian Utara. Nisan ini menunjukkan
adanya kerajaan Islam pertama nusantara. Mazhab yang berkembang di wilayah
Sumatera bagian Utara ini, menurut Ibnu Battuta (musafir Maroko) adalah
Syafi’i.
Semakin signifikannya pengaruh Islam di nusantara
ditandai berdirinya sejumlah kesultanan. Jean Gelman-Taylor mencatat di Ternate
(Maluku) penguasanya melakukan konversi ke Islam tahun 1460. Di Demak,
penguasanya mendirikan kota muslim tahun 1470, sementara kota-kota pelabuhan di
sekitarnya seperti Tuban, Gresik, dan Cirebon menyusul pada tahun 1500-an.
Sekitar tahun 1515 pelabuhan Aceh memiliki penguasa Islam, disusul Madura pada
1528, Gorontalo 1525, Butung 1542. Tahun 1605 penguasa Luwuk, Tallo, dan Gowa
(Sulawesi Selatan) masuk Islam dan 1611 semenanjung Sulawesi Selatan telah
dikuasai penguasa Islam.
Pada perkembangannya, terjadi proses saling pengaruh
antara Islam yang sudah terakulturasi dengan budaya lokal dengan Islam yang
baru masuk dari wilayah Timur Tengah. Interaksi tersebut di kemudian hari mulai
dirundung konflik penafsiran dan ini terutama semakin mengemuka di saat
berkuasanya rezim Ibnu Saud yang menggunakan Wahhabi sebagai paham keislamannya
pada awal abad ke-19. Tulisan ini tidak akan menyentuh bagaimana konflik yang
berlangsung antara aneka tipologi Islam. Tulisan hanya menghampiri sejumlah
pengaruh yang dibawa Islam ke dalam budaya-budaya yang berkembang di Indonesia.
1. Masuknya Islam ke Indonesia
Durasi penyebaran awal Islam Indonesia dalam kisaran
abad ke-7 hingga 13 Masehi. Penyebarnya berasal dari Arab, Persia, dan India
(Gujarat, Benggala). Profesi para penyebar umumnya pedagang, mubalig, wali,
ahli-ahli tasawuf, guru-guru agama, dan haji-haji. Mereka menyebarkan Islam
lewat sejumlah saluran. Saluran-saluran ini berlangsung dalam enam aras, yaitu
perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, seni dan tawaran pembentukan
masyarakat egalitarian dalam strata sosial.
Perdagangan. Perdagangan merupakan metode penetrasi
Islam paling kentara. Dalam proses ini, pedagang nusantara dan Islam asing
bertemu dan saling bertukar pengaruh. Pedagang asing umumnya berasal dari
Gujarat dan Timur Tengah (Arab dan Persia). Mereka melakukan kontak dengan para
adipati wilayah pesisir yang hendak melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Sebagian dari para pedagang asing ini menetap di wilayah yang berdekatan dengan
pantai dan mendifusikan Islam mereka.
Tatkala para pedagang asing menetap – baik sementara
waktu ataupun seterusnya – mereka membangun pemukiman yang disebut Pekojan.
Banyak di antara pada saudagar Islam yang kaya sehingga menarik hati kaum
pribumi, terutama anak-anak kaum bangsawan, untuk menikahi mereka. Masalahnya,
para pedagang menganggap pernikahan dengan penganut berhala tidak sah. Mereka
mensyaratkan bahwa untuk menikah, penduduk Indonesia harus masuk Islam dengan
mengucapkan syahadat terlebih dahulu. Proses pernikahan singkat, tidak melalui
upacara yang panjang-lebar, membuat kalangan pribumi semakin menerima
keberadaan orang-orang asing berikut agama barunya ini. Mukimnya pedagang Islam
dalam kegiatan perdagangan (sekadar transit atau menetap), membuat mereka
berkembang biak di sekitar wilayah pelabuhan. Pola ini mampu mengembangkan
pemukiman Islam baru (disebut koloni). Ini menjelaskan mengapa Kerajaan Islam
nusantara selalu berawal dari wilayah-wilayah pesisir seperti Bone, Banjar,
Banten, Demak, Cirebon, Samudera Pasai, Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo, Hitu,
ataupun Deli.
Perkawinan. Seperti telah dipaparkan sebelumnya,
perkawinan banyak dilakukan antara pedagang Islam dengan putri-putri adipati.
Dalam pernikahan, mempelai pria Islam (juga wanitanya) mengajukan syarat
pengucapan kalimat syahadat sebagai sahnya pernikahan. Anak-anak yang
dihasilkan dari pernikahan tersebut cenderung mengikuti agama orang tuanya yang
Islam. Perkawinan antara saudagar Islam dengan anak-anak kaum bangsawan, raja,
atau adipati menguntungkan perkembangan Islam. Status sosial, ekonomi, dan
politik mertua-mertua mereka memungkinkan Islam melakukan penetrasi langsung ke
jantung kekuasaan politik lokal (palace circle). Saat sudah berada di aras
pusat kekuasaan politik, penerbitan kebijakan-kebijakan yang menguatkan
penyebaran Islam mendapat prioritas dalam input, konversi, dan output kebijakan
para sultan atau para adipatinya.
Tasawuf. Tasawuf merupakan epistemologi Islam yang
banyak menarik perhatian kalangan pribumi. Metodenya yang toleran, tidak
mengakibatkan cultural shock signifikan, membuat banjir penganut Islam baru.
Tasawuf cenderung tidak menciptakan posisi diametral Islam dengan budaya India
ataupun tradisi lokal yang dipraktekkan kalangan pribumi. Tokoh-tokoh tasawuf
Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, ataupun beberapa tokoh Wali Sanga (termasuk
juga Syekh Siti Jenar) mengambil posisi kunci dalam metode penyebaran ini.
Lewat tasawuf pula, bentuk Islam yang diperkenalkan menunjukkan persamaan
dengan alam pikiran orang-orang Jawa-Hindu, çiwa, dan Buddha. Akibatnya, Islam
tidak dipandang sesuatu yang sama sekali asing bagi kalangan pribumi.
Pendidikan. Sebelum Islam masuk, Indonesia dikenal
sebagai basis pendidikan agama Buddha, khususnya perguruan Nalendra di Sumatera
Selatan. Pecantrikan dan Mandala adalah sekolah tempat para penuntut ilmu di kalangan
penduduk pra Islam. Setelah Islam masuk, peran Pecantrikan dan Mandala tersebut
diambil alih lalu diberi muatan Islam dalam kurikulumnya. Kini pesantren
(Islam) berlaku sebagai pusat pembinaan guru agama, kiai, dan ulama. Selesai
pendidikan, lulusan kembali ke kampung dan desa masing-masing untuk menjadi
tokoh agama atau mendirikan pesantren sendiri. Misalnya Raden Rahmat (Sunan
Ampel) yang mendirikan pesantren di Ampel Denta. Selain itu, pesantren yang
didirikan Sunan Giri menjadi terkenal hingga Maluku dan menyebabkan penduduk
Maluku (khususnya wilayah Hitu) datang berguru pada Sunan Giri. Atau, para kiai
dari Giri diundang mengajar ke Hitu. Biasanya, yang diundang menjadi khatib,
modin, atau kadi masyarakat Hitu dan diberi upah cengkih.
Seni. Tidak bisa dipungkiri, seni punya peran
signifikan dalam penyebaran Islam. Orang Indonesia sebelum kedatangan Islam
terkenal sebagai seniman-seniman jenius yang punya kemashuran tinggi. Lewat
seni, Islam mampu menjangkau segmen lebih luas masyarakat pribumi, termasuk
para elitnya. Sunan Kalijaga misalnya, menggunakan wayang sebagai cara dakwah
baik atas penduduk biasa maupun elit sosial. Sunan Bonang menggunakan gamelan
dalam melantunkan syair-syair keagamaan. Ini belum termasuk tokoh-tokoh lain
yang mengadaptasi seni kerajinan lokal dan India yang diberi muatan Islam.
Egalitarianisme. Egalitarianisme akhirnya menempati
posisi kunci. Problem utama di budaya sebelumnya adalah stratifikasi sosial
berdasarkan kasta. Meski tidak terlampau ketat, Hindu di Indonesia sedikit
banyak dipengaruhi terbentuknya kasta sosial seperti Brahmana, Ksatria, Waisya,
Sudra dan Paria. Masyarakat biasa kurang leluasa dengan sistem ini oleh sebab
mengakibatkan sejumlah keterbatasan dalam hal pergaulan dan perkawinan. Lalu,
Islam datang dan tidak mengenal stratifikasi sosial. Mudah dipahami,
orang-orang Indonesia (terutama dari kasta bawah) yang hendak bebas merespon
baik agama baru ini.
2. Pengaruh Islam di Bidang Bahasa
Konversi Islam nusantara awalnya terjadi di sekitar
semenanjung Malaya. Menyusul konversi tersebut, penduduknya meneruskan
penggunaan bahasa Melayu. Melayu lalu digunakan sebagai bahasa dagang yang
banyak digunakan di bagian barat kepulauan Indonesia. Seiring perkembangan awal
Islam, bahasa Melayu pun memasukkan sejumlah kosakata Arab ke dalam struktur
bahasanya. Bahkan, Taylor mencatat sekitar 15% dari kosakata bahasa Melayu
merupakan adaptasi bahasa Arab. Selain itu, terjadi modifikasi atas huruf-huruf
Pallawa ke dalam huruf Arab, dan ini kemudian dikenal sebagai huruf Jawi.
Bersamaan naiknya Islam menjadi agama dominan
kepulauan nusantara, terjadi sinkretisasi atas bahasa yang digunakan Islam.
Sinkretisasi terjadi misalnya dalam struktur penanggalan Çaka. Penanggalan ini
adalah mainstream di kebudayaan India. Secara sinkretis, nama-nama bulan Islam
disinkretisasi Agung Hanyakrakusuma (sultan Mataram Islam) ke dalam sistem
penanggalan Çaka. Penanggalan çaka berbasis penanggalan Matahari (syamsiah,
mirip gregorian), sementara penanggalan Islam berbasis peredaran Bulan
(qamariah). Hasilnya pada 1625, Agung Hanyakrakusuma mendekritkan perubahan
penanggalan Çaka menjadi penanggalan Jawa yang sudah banyak dipengaruhi budaya
Islam. Nama-nama bulan yang digunakan tetap 12, sama dengan penanggalan
Hijriyah (versi Islam). Penyebutan nama bulan mengacu pada bahasa Arab seperti
Sura (Muharram atau Assyura dalam Syiah), Sapar (Safar), Mulud (Rabi’ul Awal),
Bakda Mulud (Rabi’ul Akhir), Jumadilawal (Jumadil Awal), Jumadilakir (Jumadil
Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya’ban), Pasa (Ramadhan), Sawal (Syawal), Sela
(Dzulqaidah), dan Besar (Dzulhijjah). Namun, penanggalan hariannya tetap
mengikuti penanggalan Çaka sebab saat itu penanggalan harian Çaka paling banyak
digunakan penduduk sehingga tidak bisa digantikan begitu saja tanpa menciptakan
perubahan radikal dalam aktivitas masyarakat (revolusi sosial).
Selain pembagian bulan, bahasa Arab merambah ke dalam
kosakata. Sama dengan sejumlah bahasa Sanskerta yang diakui selaku bagian dari
bahasa Indonesia, kosakata Arab pun akhirnya masuk ke dalam struktur bahasa
Indonesia, yang sedikit contohnya sebagai berikut:
Bahasa Arab ini bahkan semakin signifikan di abad
ke-18 dan 19 di Indonesia, di mana masyarakat nusantara lebih familiar membaca
huruf Arab ketimbang Latin. Bahkan, di masa kolonial Belanda, mata uang ditulis
dalam huruf Arab Melayu, Arab Pegon, ataupun Arab Jawi. Tulisan Arab pun masih
sering diketemukan sebagai keterangan dalam batu nisan.
3. Pengaruh Islam di Bidang Pendidikan
Salah satu wujud pengaruh Islam yang lebih sistemik
secara budaya adalah pesantren. Asal katanya pesantren kemungkinan shastri
(dari bahasa Sanskerta) yang berarti orang-orang yang tahu kitab suci agama
Hindu. Atau, kata cantrik dari bahasa Jawa yang berarti orang yang mengikuti
kemana pun gurunya pergi. Fenomena pesantren telah berkembang sebelum Islam
masuk. Pesantren saat itu menjadi tempat pendidikan dan pengajaran agama Hindu.
Setelah Islam masuk, kurikulum dan proses pendidikan pesantren diambilalih
Islam.
Pada dasarnya, pesantren adalah sebuah asrama
tradisional pendidikan Islam. Siswa tinggal bersama untuk belajar ilmu
keagamaan di bawah bimbingan guru yang disebut Kyai. Asrama siswa berada di
dalam kompleks pesantren di mana kyai berdomisili. Dengan kata lain, pesantren
dapat diidentifikasi adanya lima elemen pokok yaitu: pondok, masjid, santri,
kyai, dan kitab-kitab klasik (kitab kuning). Seputar peran signifikan pesantren
ini, Harry J. Benda menyebut sejarah Islam ala Indonesia adalah sejarah
memperbesarkan peradaban santri dan pengaruhnya terhadap kehidupan keagamaan,
sosial, dan ekonomi di Indonesia. Melalui pesantren, budaya Islam dikembangkan
dan beradaptasi dengan budaya lokal yang berkembang di sekitarnya tanpa
mengakibatkan konflik horisontal signifikan.
4. Pengaruh Islam di Bidang Arsitektur dan
Kesenian
Masjid adalah tempat ibadah umat Islam. Masjid-masjid
awal yang dibangun pasca penetrasi Islam ke nusantara cukup berbeda dengan yang
berkembang di Timur Tengah. Salah satunya tidak terdapatnya kubah di puncak
bangunan. Kubah digantikan semacam meru, susunan limas tiga atau lima tingkat,
serupa dengan arsitektur Hindu. Masjid Banten memiliki meru lima tingkat,
sementara masjid Kudus dan Demak tiga tingkat. Namun, bentuk bangunan dinding
yang bujur sangkar sama dengan budaya induknya.
Perbedaan lain, menara masjid awalnya tidak dibangun
di Indonesia. Menara dimaksudkan sebagai tempat mengumandakan adzan, seruan
penanda shalat. Peran menara digantikan bedug atau tabuh sebagai penanda
masuknya waktu shalat. Setelah bedug atau tabuh dibunyikan, mulailah adzan
dilakukan. Namun, ada pula menara yang dibangun semisal di masjid Kudus dan
Demak. Uniknya, bentuk menara di kedua masjid mirip bangunan candi Hindu.
Meskipun di masa kini telah dilengkapi menara, bangunan-bangunan masjid jauh di
masa sebelumnya masih mempertahankan bentuk lokalnya, terutama meru dan limas
bertingkat tiga.
Pusara. Makam adalah lokasi dikebumikannya jasad
seseorang pasca meninggal dunia. Setelah pengaruh Islam, makam seorang
berpengaruh tidak lagi diwujudkan ke dalam bentuk candi melainkan sekadar
cungkup. Lokasi tubuh dikebumikan ini ditandai pula batu nisan. Nisan merupakan
bentuk penerapan Islam di Indonesia. Nisan Indonesia bukan sekadar batu,
melainkan terdapat ukiran penanda siapa orang yang dikebumikan.
Seni Ukir. Ajaran Islam melarang kreasi makhluk
bernyawa ke dalam seni. Larangan dipegang para penyebar Islam dan orang-orang
Islam Indonesia. Sebagai pengganti kreativitas, mereka aktif membuat kaligrafi
serta ukiran tersamar. Misalnya bentuk dedaunan, bunga, bukit-bukit karang,
pemandangan, serta garis-garis geometris. Termasuk ke dalamnya pembuatan kaligrafi
huruf Arab. Ukiran misalnya terdapat di Masjid Mantingan dekat Jepara, daerah
Indonesia yang terkenal karena seni ukirnya.
Seni Sastra. Seperti India, Islam pun memberi pengaruh
terhadap sastra nusantara. Sastra bermuatan Islam terutama berkembang di
sekitar Selat Malaka dan Jawa. Di sekitar Selat Malaka merupakan perkembangan
baru, sementara di Jawa merupakan kembangan sastra Hindu-Buddha. Sastrawan
Islam melakukan gubahan baru atas Mahabarata, Ramayana, dan Pancatantra. Hasil
gubahan misalnya Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Perang Pandawa Jaya, Hikayat
Seri Rama, Hikayat Maharaja Rawana, Hikayat Panjatanderan. Di Jawa, muncul
sastra-sastra lama yang diberi muatan Islam semisal Bratayuda, Serat Rama, atau
Arjuna Sasrabahu. Di Melayu berkembang Sya’ir, terutama yang digubah Hamzah
Fansuri berupa suluk (kitab yang membentangkan persoalan tasawuf). Suluk
gubahan Fansuri misalnya Sya’ir Perahu, Sya’ir Si Burung Pingai, Asrar
al-Arifin, dan Syarab al Asyiqin.
_____________________________________________________________________________
Kebudayaan
Barat di Indonesia
Pengaruh budaya barat Belanda Portugis serta Jepang
atas kebudayaan Indonesia tidak dapat dihindari. Pengaruh barat terutama dari
Portugis dan Belanda sudah bahkan sudah berlangsung sejak abad ke-16. Saat itu
Indonesia, sebagai sebuah negara 'resmi' belumlah lagi berdiri. Indonesia saat
itu masih dalam bentuk 'proto' yaitu kerajaan-kerajaan di zaman perdagangan
nusantara. Tulisan ini akan mengetengahkan sejumlah 'kecil' pengaruh kebudayaan
barat yang diwakili Portugis dan Belanda atas kebudayaan Indonesia. Selain itu,
sebagai pembanding juga akan diketengahkan sejumlah pengaruh kebudayaan Jepang.
Pengaruh Belanda di
Indonesia
Saat ini seringkali
muncul stereotype bernada negatif atas budaya Barat. Di Indonesia, budaya Barat
disebar seiring kekuasaan kolonial. Barat yang dimaksud di dalam tulisan ini
adalah Negara-negara Eropa, terutama Belanda, yang melakukan kolonisasi atas kepulauan
nusantara. Kendati demikian, terdapat pengaruh Barat tertentu yang terus
membekas di dalam struktur kebudayaan Indonesia hingga kini. Misalnya sistem
pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu komponen nonmaterial kebudayaan
yang punya peran signifikan dalam melestarikan suatu budaya. Selain pendidikan,
mekanisme administratif pemerintahan Belanda juga punya pengaruh tersendiri
atas pembentukan sistem sosial (politik) Indonesia.
Bangsa Barat utama yang
pengaruhnya cukup membekas adalah Portugis dan Belanda. Terutama Belanda,
budaya kedua bangsa ini sebagian terserap ke dalam struktur budaya Indonesia.
Namun, sisa-sisa pengaruh ini kurang begitu kuat mempengaruhi benak kesadaran
orang Indonesia, mungkin akibat perbedaan blue print manusianya (barat versus
timur). Budaya Barat, sesuai namanya, merupakan produk perkembangan di bilangan
barat dunia yang menekankan individualitas dan kebebasan. Sementara Indonesia
merupakan bagian bangsa timur yang menghendaki harmoni, komando, dan
kolektivitas.
Koentjaraningrat
mencatat, pengaruh budaya barat atas Indonesia diawali aktivitas perdagangan
Portugis paruh pertama abad ke-16. Tahun 1511 Portugis menaklukan Malaka,
pelabuhan dagang di barat kepulauan Indonesia. Penaklukan membuat Portugis
mampu mengendalikan aspek-aspek penting kehidupan masyarakat di sana. Tatkala
penaklukan terjadi, Islam tengah tumbuh sebagai agama dan budaya baru
nusantara. Tidak perlu waktu lama, Islam berangsur jadi agama dominan di
kepulauan Indonesia. Konflik yang kemudian terjadi kemudian kerap
digeneralisasi menjadi konflik Barat versus Islam. Konflik bahkan masih terus
berlangsung hingga tulisan ini dibuat.
Tahun 1641 orang Belanda
merebut Malaka dari Portugis. Sebelumnya, tahun 1619 mereka sudah membangun
benteng kuat di Batavia saat menguasai Banten, pelabuhan dagang nusantara lain
yang penting. Tahun 1755, VOC mengadakan perjanjian Gianti dengan Mataram
Islam, kerajaan yang merupakan salah satu rival mereka dalam menguasai jalur
dagang. Dalam perjanjian Gianti, Mataram dipecah menjadi Yogyakarta, Surakarta,
dan Mangkunegara. Tahun 1799, VOC (perusahaan swasta Belanda) bangkrut. Mulai
tahun tersebut orang-orang Belanda mengatasnamakan Kerajaan Belanda dalam
mengelola Indonesia.
Tahun 1824 Belanda
menukar Singapura dengan Bengkulu. Singapura awalnya dikuasai Belanda dan
Bengkulu oleh Inggris. Lokasi Bengkulu terisolasi di bagian selatan-barat pulau
Sumatera. Tahun 1837 Belanda menguasai Sumatera Barat usai Perang Paderi. Tahun
1883, Tanah Batak masuk ke dalam kekuasaan Belanda, hanya setelah
berpayah-payah menaklukan orang Batak Toba. Tahun 1894, Lombok masuk ke
kekuasaan Belanda disusul Bali tahun 1906, lewat Perang Badung (Puputan
Badung). Aceh terakhir masuk ke dalam kekuasaan Belanda pada 1903 (atau 1905),
setelah perang kurang lebih 30 tahun sejak 1873. Dari paparan ini tampak
kekuasaan Belanda atas Indonesia berlangsung gradual. Wilayah yang satu
dikuasai terlebih dulu ketimbang lainnya. Kendati demikian, tetap ada wilayah
yang tidak terjamah kekuasaan kolonial Belanda.
Bernard H.M. Vlekke
membagi pengaruh Belanda di nusantara ke dalam tiga bagian.Pertama, di Sumatera
dan Kalimantan pengaruh orang Eropa hampir tidak punya dampak pada kehidupan
pribumi. Kedua, pengaruh di bagian timur kuat tetapi opresif. Ketiga, di Jawa
di mana Belanda mampu mencengkeram hingga pedalaman dan menimbulkan perubahan
struktur sosial serta ekonomi orang Indonesia.
Di Jawa, Maluku dan
Sulawesi Utara berkembang pelapisan sosial. Lapisan pertama kaum buruh yang
meninggalkan budaya tani untuk menjadi pelayan rumah tangga Eropa, tukang, atau
buruh industri. Lapisan kedua kaum pegawai (priyayi) yang bekerja di belakang
meja tulis dan harus menempuh pendidikan Belanda terlebih dahulu. Lapisan
ketiga, kelas menengah baru pribumi yang melakukan kegiatan dagang di
bidang-bidang yang belum digarap pengusaha Cina (dan Asia lain) seperti rokok
kretek, batik, tenun, ataupun kerajinan tangan. Pola-pola pelapisan sosial
seperti ini belum ada di Indonesia sebelum pengaruh Belanda.
Pendidikan. Salah satu
pengaruh peradaban Belanda atas struktur budaya Indonesia adalah pendidikan.
Sistem pendidikan Belanda bersaing dengan sistem pendidikan lokal Indonesia
yang umumnya berupa pecantrikan dan mandala. Juga, sekolah-sekolah Belanda
mulai menyaingi pesantren, lembaga pendidikan yang banyak dipengaruhi Islam.
Sekolah, sebagai basis
proses pendidikan formal Indonesia saat ini, merupakan wujud nyata membekasnya
pengaruh Belanda. Peserta didik dibagi ke dalam lokal-lokal menurut rombongan
belajar, di setiap kelas peserta didik duduk dalam beberapa banjar menghadap ke
depan, dan guru berdiri di muka kelas selaku narasumber utama belajar. Ini
serupa dengan struktur kelas di dalam gereja sejak masa skolastik Eropa. Namun,
sistem persekolahan Belanda awalnya bersifat segregatif. Ada sekolah khusus
Belanda dan Eropa seperti Europesche Lagere School (ELS), untuk Tionghoa
semisal Hollands Chinese School, ataupun Indlansche School untuk pribumi.
Ciri umum sistem
pendidikan Belanda adalah pembagian jenjang pendidikan berdasarkan tahun.
Misalnya suatu jenjang pendidikan dasar ditempuh selama lima atau enam tahun
dan lanjutannya selama tiga tahun. Selain itu, terdapat prasyarat usia sebelum
seorang peserta didik dimasukkan ke jenjang pendidikan tertentu. Sistem
pendidikan barat di Indonesia lebih serius digarap Belanda sejak abad ke-18 dan
semakin tegas tatkala Politik Etis diberlakukan tahun 1911 lewat tokoh
liberalnya, Van Deventer. Sebelum Politik Etis, tujuan pembentukan sistem
pendidikan Belanda bagi orang Indonesia sekadar untuk menyediakan tenaga ahli
yang murah untuk mengerjakan administrasi kolonial. Ini guna mengantisipasi
meluasnya wilayah kekuasaan Belanda. Luasnya wilayah kelola tentu diiringi
kerumitan serupa dalam tata administrasinya.
Rumah Tinggal.
Peninggalan budaya Belanda lain adalah rumah tinggal. Seperti diketahui,
orang-orang Belanda kebanyakan tinggal di sentra-sentra kegiatan ekonomi di
mana tanah dan material bangunannya cukup mahal. Selain orang biasa, konstruksi
bangunan Belanda juga banyak dipakai oleh keluarga-keluarga priyayi Indonesia.
Misalnya raja-raja Indonesia seperti di Banten dan Yogyakarta membangun rumah
kediaman mereka serupa dengan konstruksi rumah-rumah Belanda. Bangunan Belanda
kerap disebut puri Belanda, yang juga berfungsi sebagai basis pertahahan
terakhir tatkala terjadi perang. Umumnya, gedung perkantoran Belanda di
Indonesia dibangun bergaya Yunani-Romawi Kuno. Cirinya adalah bangunannya
besar-besar, pilar besar dan tinggi di bagian depan, hiasan doria dan ionia
dari Yunani.
Budaya Indis. Seputar
pengaruh budaya Belanda, Djoko Sukiman menjelaskan terbitnya kebudayaan Indis.
Indis adalah kebudayaan campuran antara budaya Belanda dengan Pribumi. Indis
terutama berkembang di pulau Jawa antara abad ke-18 hingga 19. Kebudayaan Indis
dapat diidentifikasi pada pelacakan pengaruh budaya Belanda atas tujuh unsur
budaya universal (yang awalnya dimiliki kalangan pribumi) yaitu bahasa,
peralatan dan perlengkapan hidup manusia, matapencarian hidup dan sistem
ekonomi, sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan dan religi. Namun,
praktek budaya Indis lebih dialami masyarakat pribumi di Jawa, khususnya
kalangan menengah ke atas.
Agama. Belanda merupakan
rival Portugis dalam dominasi jalur-jalur dagang nusantara. Dominasi Portugis
berhasil dipatahkan Belanda dengan merebut Malaka dari tangan mereka tahun
1611. Dominasi Portugis di Maluku juga beralih ke tangan Belanda tahun 1621,
ketika Jan Pieterszoon Coen mendirikan pos perdagangan kumpeni (VOC) di
Kepulauan Banda.
Naiknya dominasi Belanda
membuat pergerakan misionaris Katolik Portugis tersendat untuk kemudian
digantikan zending Protestan Belanda. Kekuatan pengaruh Katolik Portugis hanya
tersisa di Flores dan Timor. Pengaruh Belanda di bidang agama terutama di
Sumatera Utara (terutama di Tanah Batak), Sulawesi Utara (terutama di Manado
dan Minahasa), Kepulauan Maluku (terutama di Ambon), Papua (termasuk Papua
Barat), serta Sulawesi Tengah-Selatan (terutama Tana Toraja).
Pengaruh Portugis di
Indonesia
Pengaruh Portugis di
Indonesia berkisar antara pengaruh agama, kesenian (utamanya musik), ataupun
bahasa. Selain bangunan, orang Portugis yang pernah datang membangun koloni
ataupun sekadar transit dagang di Indonesia, juga mendirikan pemukiman. Ini
misalnya Tugu di Jakarta Utara di mana orang Portugis dan turunannya membentuk
koloni. Kendati kini menipis jumlahnya, dari wilayah tersebut dikenal beberapa
budaya semisal musik Kroncong Tugu sebagai bentuk seni musik Portugis.
Kampung Tugu. Masyarakat
kampung Tugu lokasinya di daerah Semper, Koja, Jakarta Utara dan masih dapat
ditemui hingga kini. Penduduk awalnya berasal dari berbagai koloni Portugis di
Malaka, Pantai Malabar, Kalkuta, Surate, Coromandel, Goa, dan Srilanka. Pada
abad ke-17 mereka diboyong kolonial Belanda ke Batavia sebagai tawanan perang.
Di Batavia mereka ditempatkan di Gereja Portugis (sekarang Gereja Sion di Jl.
Pangeran Jayakarta). Kemudian sebagian besar mereka pindah ke Kampung Tugu.
Kesenian. Victor Ganap
menyatakan musik keroncong berasal dari musik Portugis abad ke-16 yang disebut
fado, berasal dari istilah Latin yang berarti nasib. Musik ini tadinya populer
di lingkungan perkotaan Portugis (sekarang Portugal). Fado sendiri awalnya
adalah nyanyian (mornas) yang dibawa para budak negro dari Cape Verde, Afrika
Barat ke Portugis sejak abad ke-15.
Lambat-laun, fado
berkembang menjadi lagu perkotaan dan pengiring tari-tarian. Tarian yang
diiringi fado dipengaruhi budaya Islam yang dibawa bangsa Moor asal Afrika
Utara saat menaklukan Selat Gibraltar di bawah pimpinan panglima Tariq ibn
Ziyad pada abad ke-7 Masehi. Setelah dipengaruhi Islam, tarian tersebut
dinamakan moresco. Moresco adalah tarian hiburan para elit Portugis yang
biasanya dibawakan penari bangsa Moor.
Moresco di Portugis masa
itu adalah kata yang digunakan untuk melukiskan seni yang dianggap bernafaskan
keislaman. Lawannya adalah cafrinho, asal katanya kafr (kafir) yang digunakan
untuk melukiskan seni yang dibawakan kaum creolis Portugis di Goa, India. Alat
musik pengiring moresco adalah gitar kecil bernama cavaquinho yang dibawa para
pelaut Portugis dalam penjelajahan dunia mereka. Ketika masuk Indonesia, alat
musik tersebut digunakan untuk menyanyikan lagu pengiring tarian moresco.
Karena suara yang dikeluarkan berbunyi crong-crong sehingga oleh orang
Indonesia musik pengiring tarian tersebut kemudian dinamakan Keroncong. Musik
Keroncong tetap hidup, dimainkan, dan memiliki penggemarnya di Indonesia hingga
masa kini. Bahkan televisi nasional Indonesia (TVRI) menyiarkan acara khusus
musik keroncong ini minimal satu kali dalam seminggunya. Ini belum termasuk
radio-radio siaran swasta nasional yang membawakannya.
Paramita Rahayu
Abdurachman – lewat salah satu penelitiannya – mencatat sekurang-kurangnya
jejak peninggalan budaya Portugis yang masih membekas di bumi nusantara dapat
ditelusuri di Jakarta, Maluku Utara, Maluku Tengah, Ambon, Solor dan Flores. Di
Jakarta, peninggalan budaya Portugis selain Keroncong adalah Tanjidor dan
Ondel-ondel.
Dalam bahasa Portugis
dikenal kata tanger yang artinya memainkan alat musik dan tangedor (lafalnya:
tanjedor) yang artinya seorang yang memainkan alat musik snaar (tali) di luar
ruangan. Di Portugal, tangedores hingga saat ini ditampilkan untuk mengiringi
pawai keagamaan setiap tanggal 24 Juni. Alat yang dipakai adalah tanbur Turki,
tanbur sedang, seruling, dan berbagai terompet. Uniknya, pawai diikuti
boneka-boneka besar yang selalu berpasangan (laki-laki dan perempuan),
dibawakan dua orang di mana satu duduk di pundak dan satunya di bawah serupa
dengan ondel-ondel Betawi masa lalu. Ondel-ondel ini bergerak menandak-nandak
diiringi musik tanjidor. Abdurachman mencatat baik tanjidor maupun ondel-ondel
sekarang sudah diIndonesiakan, karena pengiringannya sudah ditambah gamelan,
gong, dan kécrék.
Bahasa. Beberapa kosa
kata Indonesia diambil dari bahasa Portugis. Kosa kata ini misalnya biola
(viola), meja (mesa), mentega (manteiga), pesiar (passear), pigura (figura),
pita (fita), sepatu (sapato), serdadu (soldado), cerutu (charuto), tolol
(tolo), jendela (janela), algojo (algoz), bangku (banco), bantal (avental),
bendera (bandeira), bolu (balo), boneka (boneca), armada, bola, pena, roda,
ronda, sisa, tenda, tinta, dan masih banyak lagi.
Agama. Denys Lombard menulis,
umat Kristen tertua Indonesia adalah Katolik. Komunitas awal mereka terbangun
di lokasi mana orang Portugis mendirikan gereja pertama mereka.Tidak seperti
Filipina atau Vietnam, jumlah orang Kristen Indonesia secara proporsional
selalu minoritas. Tahun 1510, Portugis menguasai Goa (India). Di sana mereka
dirikan pangkalan dagang, instalasi militer, dan pusat misi. Tahun 1511, mereka
berhasil mencapai Malaka dan Nopember 1511, Portugis berangkat dari Malaka ke
Maluku, tepatnya Kepulauan Banda. Mereka tiba tahun 1512. Saat Portugis datang,
penduduk Banda telah menganut agama Islam.
Dari Banda, Portugis
menuju Ternate. Di perjalanan, mereka singgah di Ambon, yang sebagian besar
penduduknya juga sudah beragama Islam. Bahkan, di Maluku utara telah berkuasa
sultan-sultan Islam di Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Sultan Ternate dan
Tidore tidak menyukai cokolan Portugis di Malaka karena memutus jalur utama
perdagangan saudagar Islam. Namun, tahun 1512 Portugis berhasil masuk lewat
jalinan aliansi dagang dengan Abu Lais, sultan Ternate. Portugis menawarkan
pembelian cengkeh dari Ternate dengan harga tinggi. Dari tawaran ini, Sultan
berharap bisa menyaingi kemakmuran Tidore dan Jailolo, dua pesaingnya. Tidore
dan Jailolo lalu membalas dengan menyekutui Spanyol yang hadir di Tidore tahun
1521.
Tanggal 24 Juni 1522 di
Ternate dilakukan peletakan batu pertama benteng Portugis (dinamakan Sao
Paulo), lengkap dengan upacara keagamaan Katolik. Pada masa pemerintahan Sultan
Tabarija (1523 – 1535) terjadi pembaptisan pertama atas sangaji (kepala suku)
wilayah Moro, Halmahera tahun 1534. Misi di luar Halmahera diteruskan tahun
1546 setelah datangnya Fransiscus Xaverius. Komunitas Kristen yang dipengaruhi
Portugis tersebar di Kepulauan Maluku dan daerah tertentu di Kepulauan Sunda
Kecil (khususnya Nusa Tenggara Timur). Tidak lama setelah agama Katolik
berkembang, Protestan masuk ke Indonesia lewat perantaraan Belanda.
woy atheis nya mana nih
BalasHapus