Konsep Nilai Budaya
Budaya
(kebudayaan/kultur) seringkali diartikan oleh beranekaragam arti atau makna.
Antara satu makna dengan makna yang lain dapat berbeda. Antara orang awan dan
akademisi pun dapat berbeda pendapat tentang arti budaya ini. Bahkan di antara
akademisi mempunyai pandangan yang tidak sama. Kenyataannya, budaya memang
adalah sebuah konsep yang bermakna beranekaragam. Ada yang memaknainya secara
luas dan ada pula yang memaknainya secara sempit. Bagi mereka yang memaknai
sempit/terbatas, budaya diartikan hanya sekedar sebuah seni, candi,
tari-tarian, kesusastraan, dan sebagainya. Padahal bagian dari arti-arti
seperti disebutkan adalah bagian dari budaya.
Dalam tulisan
ini, konsep budaya dipahami sebagai konsep yang didefinisikan oleh
Koentjaraningrat (1981: 180) yaitu “Keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar”.
Sistem gagasan
atau sistem ide milik satu masyarakat yang dijadikan acuan tingkah laku dalam
kehidupan sosial dari masyarakat yang bersangkutan merupakan wujud kebudayaan
itu yang bersifat abstrak, sedangkan perilaku/tindakan dan hasil karya
(benda-benda/“benda budaya”) merupakan “gejala-gejala kebudayaan” saja.
Selanjutnya,
konsep budaya dapat dikembangkan dalam suatu perincian untuk mendapatkan
pemahaman atau makna yang lebih operasional. Perincian itu terdiri dari
unsur-unsur gagasan tadi yang terkait dalam suatu sistem yang dikenal dengan
konsep “sistem budaya” (cultural system).
Sistem budaya
itu sendiri adalah seperangkat pengetahuan yang meliputi pandangan hidup,
keyakinan, nilai, norma, aturan, hukum yang menjadi milik suatu masyarakat
melalui proses belajar, yang kemudian diacu sebagai pedoman untuk menata,
menilai, menginterpretasi sejumlah benda dan peristiwa dalam beragam aspek
kehidupan dalam kehidupan lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Keseluruhan
unsur tadi terkait dalam satu sistem yang dapat disebut “roh” dari kehidupan
satu masyarakat. Yang terpenting di antaranya adalah nilai atau nilai budaya
(cultural value) yang merupakan suatu konsepsi abstrak yang dianggap baik dan
amat bernilai tinggi dalam hidup, yang menjadi pedoman tertinggi kelakuan dalam
kehidupan satu masyarakat (Junus Melalatoa, 2005).
Nilai budaya yang
dimiliki satu masyarakat dapat terdiri dari beberapa kategori nilai, yaitu
nilai pengetahuan, nilai religi, nilai sosial, nilai seni, dan nilai ekonomi.
Dalam kategori nilai sosial ada sejumlah nilai, misalnya nilai tertib, setia
kawan, harga diri, tolong-menolong, rukun, kompetitif, disiplin, dan
sebagainya. Nilai disiplin juga merupakan unsur nilai religi, di samping takwa,
iman, yang menjadi unsur nilai seni di samping indah, melankolis, halus, riang,
dinamis, kreatif, dan lain-lain. Dengan kata lain, sebuah atau beberapa nilai
tersebar sebagai unsur dalam kategori nilai-nilai: pengetahuan, religi, sosial,
seni, dan ekonomi. Keseluruhan nilai-nilai itu terkait satu dengan yang lain,
sehingga merupakan satu sistem nilai budaya (cultural value system).
Adapun
unsur-unsur kebudayaan universal mencakup tujuh unsur yang terdapat pada tiap
kebudayaan di dunia adalah Bahasa, Sistem Pengetahuan, Organisasi Sosial,
Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi, Sistem Mata Pencaharian Hidup, Sistem
Religi, dan Kesenian. Ke dalam setiap unsur tersebut terdapat tiga wujud
budaya, yaitu: wujud sistem budaya, sistem sosial, dan wujud kebudayaan fisik.
PENGERTIAN DAN KONSEP SISTEM NILAI
Istilah nilai
merupakan sebuah istilah yang tidak mudah untuk diberikan batasan secara pasti.
Ini disebabkan karena nilai merupakan sebuah realitas yang abstrak (Ambroisje
dalam Kaswadi, 1993) . Menurut Rokeach dan Bank (Thoha, 1996) nilai adalah
suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup system kepercayaan di
mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu
yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Ini berarti hubungannya denga
pemaknaan atau pemberian arti suatu objek.
Nilai juga dapat
diartikan sebagai sebuah pikiran (idea) atau konsep mengenai apa yang danggap
penting bagi seseorang dalam kehdiupannya (Fraenkel dalam Thoha, 1996). Selain
itu, kebenaran sebuah nilai juga tidak menuntut adanya pembuktian empirik,
namun lebih terkait dengan penghayatan dan apa yang dikehendaki atau tidak
dikehendaki, disenangi atau tidak disenangi oleh seseorang. Allport,
sebagaimana dikutip oleh Kadarusmadi (1996:55) menyatakan bahwa nilai adalah:
“a belief upon which a man acts by preference. It is this a cognitive, a motor,
and above all, a deeply propriate disposition”. Artinya nilai itu merupakan
kepercayaan yang dijadikan preferensi manusia dalam tindakannya. Manusia
menyeleksi atau memilih aktivitas berdasarkan nilai yang dipercayainya. Ndraha
(1997:27-28) menyatakan bahwa nilai bersifat abstrak, karena itu nilai pasti
termuat dalam sesuatu. Sesuatu yang memuat nilai (vehicles) ada empat macam,
yaitu: raga, perilaku, sikap dan pendirian dasar.
Dari berbagai
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan suatu keyakinan atau
kepercayaan yang menjadi dasar bagi seseorang atau sekelompok orang untuk
memilih tindakannya, atau menilai suatu yang bermakna atau tidak bermakna bagi
kehidupannya. Sedangkan sistem nilai adalah suatu peringkat yang didasarkan
pada suatu peringkat nilai-nilai seorang individu dalam hal intensitasnya.
Dengan demikian untuk mengetahui atau melacak sebuah nilai harus melalui
pemaknaan terhadap kenyataan-kenyataan lain berupa tindakan, tingkah laku, pola
pikir dan sikap seseorang atau sekelompok orang.
Pentingnya Nilai
Sebagimana
ditegaskan oleh Robbins (1991:158) “Values are important to the study
organizational behavior because they lay the foundation for the understanding
of attitudes and motivation as well as influencing our perceptions. Indiviuals
enter an organization with preconceived nations of what ‘ougth’ and what
‘outght not’ to be. Of course, these nations are not value free”. Nilai-nilai
penting untuk mempelajari perilaku organisasi karena nilai meletakkan fondasi
untuk memahami sikap dan motivasi serta mempengaruhi persepsi kita.
Individu-individu memasuki suatu organisasi dengan gagasan yang dikonsepsikan
sebelumnya mengenai apa yang “seharusnya” dan “tidak seharusnya”. Tentu saja
gagasan-gagasan itu sendiri tidak bebas nilai.
Lebih lanjut
Robbins (1991) menegaskan bahwa gagasan-gagasan tersebut mengandung penafsiran
benar dan salah dan gagasan itu mengisyaratkan bahwa perilaku tertentu akan
memperkeruh obyektivitas dan rasionalitas. Di bagian lain Robbins (1991:159)
menyatakan “Values generally influence attitudes and behavior” (umumnya nilai
mempengaruhi sikap da perilaku).
Tipe-tipe Nilai
Spranger
(Alisyhbana, 1986) menggolongkan tipe nilai menjadi enam berdasarkan enam
lapangan kehidupan manusia yang membuat manusia berbudaya. Keenam lapangan itu
ialah: (1) lapangan pengetahuan; (2) lapangan ekonomi; (3) lapangan estetik;
(4) lapangan politik; dan (5) lapangan religi. Robbins (1991:159-160) merujuk
pendapat Allport, dan kawan-kawannya juga membagi tipe nilai menjadi enam,
yaitu: (1) theoritical, (2) economic, (3) aesthetic, (4) social, (5) political,
dan (6) religious. Dari keenam tipe nilai tersebut kemudian Spranger
menggolongkan perilaku manusia ke dalam enam golongan atau tipe, yaitu: (1)
theoretical man (concerned with truth and knowledge); (2) economic man
(utilitarian); (3) esthetic man (art and harmony); (4) social man
(humansitarian); (5) political man (power and control); dan (6) religious man.
Dapat diartikan bahwa tipe nilai dapat digolongkan menjadi enam yaitu: (1)
manusia teoritis (konsen terhadap kebenaran dan pengetahuan), (2) manusia
ekonomik (utilitarian), (3) manusia estetik (seni dan harmoni), (4) manusia
sosial (manusiawi), (5) manusia politik (kekuasaan dan pengawasan), dan (6)
manusia religius (agama) .
Scheler
menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidaklah sama luhur dan sama tingginya.
Nilai-nilai itu secara nyata ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah
dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya. Menurut tinggi rendahnya, nilai-nilai
dikelompokkan dalam 4 tingkatan sebagai berikut:
Nilai-nilai
kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat deretan nilai-nilai yang mengenakkan dan
tidak mengenakkan, yang menyebabkan orang senang atau menderita.
Nilai-nilai
kehidupan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang lebih penting bagi
kehidupan, misalnya: kesehatan, kesegaran badan, kesejahteraan umum.
Nilai-nilai
kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang sama sekali tidak
tergantung pada keadaan jasmani maupun lingkungan, seperti misalnya kehidupan,
kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.
Nilai-nilai kerohanian: dalam tingkat
ini terdapat modalitas nilai dari suci dan tak suci. Nilai-nilai semacam ini
terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi dan nilai kebutuhan .
Demikianlah
macam-macam nilai serta klasifikasinya menurut berbagai pakar dan sumber.
Penggunaan tiap-tiap kategorisasi di atas, tentu saja sesuai dengan konteks
nilai yang dibicarakan, dan hal ini lebih lanjut digunakan untuk membahas
tentang sistem nilai yang dikembangkan di sekolah.
Sumber :