Kebudayaan


Kebudayaan Hindu - Buddha di Indonesia

Perkembangan pengaruh Hindu-Buddha yang penting meliputi tiga hal, yakni :
·         Dengan berkembangnya pengaruh Hindu-Buddha, maka bangsa Indonesia memasuki zaman Sejarah 
·         Kesenian yang bercorak Hindu-Buddha berkembang di Indonesia
·         Di Indonesia berdiri kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha

Jalur perdagangan India-Cina melalui Indonesia

Wilayah Indonesia terdiri atas pulau besar dan kecil yang dihubungkan oleh selat dan laut, hal ini menyebabkan sarana pelayaran merupakan lalu lintas utama penghubung antarpulau. Pelayaran ini dilakukan dengan rangka mendorong aktivitas perdagangan. Pelayaran perdagangan yang dilakukan oleh kerajan-kerajaan di Indonesia bukan hanya dalam wilayah Indonesia saja, tetapi telah jauh sampai ke luar wilayah Indonesia.

Pelayaran dan perdagangan di Asia semakin ramai setelah ditemukan jalan melalui laut antara Romawi dan Cina. Rute jalur laut yang dilalui dalam hubungan dagang Cina dan Romawi telah mendorong munculnya hubungan dagang pada daerah-daerah yang dilalui, termasuk wilayah Indonesia oleh karena posisi Indonesia yang strategis di tengah-tengah jalur hubungan dagang Cina dengan Romawi, maka terjadillah hubungan dagang antara kerajaan-kerajaan di Indonesia dan Cina beserta India.

Teori masuknya dan berkembangnya Agama serta Kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia

Melalui hubungan perdagangan, berkembanglah kebudayaan-kebudayaan yang dibawa oleh para pedagang di Indonesia. Hubungan perdagangan antara Indonesia dan India membawa agama Hindu dan Buddha tersebar di Indonesia serta dianut oleh raja-raja dan para bangsawan. Dari lingkungan raja dan bangsawan itulah agama Hindu-Buddha tersebar ke lingkungan rakyat biasa.

Penyiaran Agama Buddha di Indonesia. Agama Buddha masuk ke Indonesia dibawa oleh para biksu. Antara lain seorang biksu dari Kashmir bernama Gunawarman datang ke Indonesia sekitar tahun 240. Gunawarman adalah seorang biksu Buddha Hinayana. Pada tahun-tahun berikutnya, para biksu Buddha dari Perguruan Tinggi Nalanda (Benggala, India) pun datang ke Indonesia. Makin lama pengaruh Buddha makin berkembang di Indonesia.

Penyiaran agama Buddha di Indonesia lebih awal dari agama Hindu. Dalam penyebarannya agama Buddha mengenal adanya misi penyiar agama yang disebut, Dharmadhuta. Tersiarnya agama Buddha di Indonesia, diperkirakan sejak abad ke-2 Masehi, dibuktikan dengan penemuan Arca Buddha dari perunggu di Jember, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Arca-arca itu berlanggam Amarawati. Namun, belum diketahui siapa pembawanya dari India Selatan ke Indonesia. Di samping itu, juga ditemukan arca Buddha dari batu di Palembang.

Penyiaran Agama Hindu di Indonesia. Proses masuknya agama Hindu di Indonesia dibawa oleh kaum pedagang, baik pedagang India yang datang ke Indonesia maupun pedagang dari wilayah Indonesia yang berlayar ke India. Akan tetapi, di lain pihak terdapat beberapa teori yang berbeda tentang penyebaran agama Hindu ke Indonesia. Pendapat atau teori tersebut di antarannya :
·         Teori Sudra, menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India yang berkasta Sudra, karena mereka dianggap sebagai orang-orang buangan. 
·         Teori Waisya, menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India berkasta Waisya, karena mereka terdiri atas para pedagang yang datang dan kemudian menetap di salah satu wilayah di Indonesia. Bahkan banyak di antara pedagang itu yang menikah dengan wanita setempat. 
·         Teori Ksatria, menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India berkasta Ksatria. Hal ini disebabkan terjadi kekacauan politik di India, sehingga para Ksatria yang kalah melarikan diri ke Indonesia. Mereka lalu mendirikan kerajaan-kerajaan dan menyebarkan agama Hindu. 
·         Teori Brahmana, menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu dilakukan oleh kaum Brahmana. Kedatangan mereka ke Indonesia untuk memenuhi undangan kepala suku yang tertarik dengan agama Hindu. Kaum Brahmana yang datang ke Indonesia inilah yang mengajarkan agama Hindu ke masyarakat. 


Dari keempat teori tersebut, hanya teori Brahmana yang dianggap sesuai dengan bukti-bukti yang ada. Bukti-bukti tersebut diantaranya :
·         Agama Hindu bukan agama yang demokratis, karena urusan keagamaan menjadi monopoli kaum Brahmana, sehingga hanya golongan Brahmana yang berhak dan mampu menyiarkan agama Hindu.
·         Prasasti yang pertama kali ditemukan berbahasa Sansekerta, sedangkan di India bahasa itu hanya digunakan dalam kitab suci dan upacara keagamaan. Jadi, hanya kaum Brahmana-lah yang mengerti dan menguasai penggunaan bahasa tersebut.



Perkembangan Agama dan Kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia

Tersebarnya pengaruh Hindu dan Buddha di Indonesia menyebabkan terjadinya berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Perubahan-perubahan itu terlihat dengan jelas pada kehidupan masyarakat Indonesia di berbagai daerah di Indonesia.


Fakta tentang Proses Interaksi Masyarakat di Berbagai Daerah dengan Tradisi Hindu-Buddha

Masuk dan berkembangnya pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia menimbulkan perpaduan budaya antara budaya Indonesia dengan budaya Hindu-Buddha. Perpaduan dua budaya yang berbeda ini dapat disebut dengan akulturasi, yaitu dua unsur kebudayaan bertemu dan dapat hidup berdampingan serta saling mengisi dan tidak menghilangkan unsur-unsur asli dari kedua kebudayaan tersebut.

Namun, sebelum masuknya pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha, masyarakat di wilayah Indonesia telah memiliki kebudayaan yang cukup maju. Unsur-unsur kebudayaan asli telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Unsur-unsur kebudayaan Hindu-Buddha yang masuk ke Indonesia diterima dan diolah serta disesuaikan dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia, tanpa menghilangkan unsur-unsur asli.

Oleh karena itu, Kebudayaan Hindu-Buddha yang masuk ke Indonesia tidak diterima begitu saja. Hal ini disebabkan :
·         Masyarakat di Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi, sehingga masuknya kebudayaan asing menambah perbendaharaan kebudayaan Indonesia.
·         Masyarakat di Indonesia memiliki kecakapan istimewa yang disebut dengan local genius, yaitu kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadiannya. 


Munculnya pengaruh Hindu-Buddha (India) di Indonesia sangat besar dan dapat terlihat melalui beberapa hal seperti :
·         Seni Bangunan. Seni Bangunan yang menjadi bukti berkembangnya pengaruh Hindu Buddha di Indonesia pada bangunan Candi. Candi Hindu maupun Candi Buddha ditemukan di Sumatera, Jawa, dan Bali pada dasarnya merupakan perwujudan akulturasi budaya lokal dengan bangsa India. Pola dasar candi merupakan perkembangan dari zaman prasejarah tradisi megalitikum, yaitu bangunan punden berundak yang mendapat pengaruh Hindu-Buddha, sehingga menjadi wujud candi, seperti Candi Borobudur.
·         Seni Rupa. Unsur seni rupa atau seni lukis India telah masuk ke Indonesia. Hal ini terbukti dengan telah ditemukannya arca Buddha berlanggam Gandara di kota Bangun, Kutai. Juga patung Buddha berlanggam Amarawati ditemukan di Sikendeng (Sulawesi Selatan). Seni rupa India pada Candi Borobudur ada pada relief-relief ceritera Sang Buddha Gautama. Relief pada Candi Borobudur pada umumnya lebih menunjukkan suasanan alam Indonesia, terlihat dengan adanya lukisan rumah panggung dan hiasan burung merpati. Di samping itu, juga terdapat hiasan perahu bercadik. Lukisan-lukisan tersebut merupakan lukisan asli Indonesia, karena lukisan seperti itu tidak pernah ditemukan pada candi-candi yang ada di India. Juga relieef Candi Prambanan yang memuat ceritera Ramayana.
·         Seni Sastra. Seni sastra India turut memberi corak dalam seni sastra Indonesia. Bahasa sansekerta sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan sastra Indonesia. Prasasti-prasasti awal menunjukkan pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia, seperti yang ditemukan di Kalimantan Timur, Sriwijaya, Jawa Barat, Jawa Tengah. Prasasti itu ditulis dalam bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Dalam perkembangan bahasa Indonesia dewasa ini, pengaruh bahasa Sansekerta cukup dominan terutama dalam istilah-istilah pemerintahan juga kitab-kitab kuno di Indonesia banyak yang menggunakan bahasa Sansekerta. Contohnya adalah :
o    Arujunawiwaha, karya Empu Kanwa pada zaman pemerintahannya Airlangga.
o    Bharatayudha, karya Empu Sedah dan Empu Panuluh pada zaman kerajaan Kediri.
o    Gatutkacasraya, karya Empu Panuluh pada zaman Kerajaan Kediri.
o    Arjunawijaya, kerya Empu tantular pada zaman Kerajaan Majapahit. 
·         Kalender. Diadopsinya sistem kalender atau penanggalan India di Indonesia merupakan wujud dari akulturasi, yaitu dengan penggunaaan tahun Saka. Di samping itu, juga ditemukan Candra Sangkala atau kronogram dalam usaha memperingati peristiwa dengan tahun atau kalender Saka. Candra Sangkala adalah angka huruf berupa susunan kalimat atau gambaran kata. Bila berupa gambar harus dapat diartikan kedalam bentuk kalimat. 
·         Kepercayan dan Filsafat. Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha ke Indonesia. bangsa Indonesia telah mengenal dan memiliki kepercayaan, yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang. Kepercayaan itu bersifat animisme dan dinamisme. Kemudian, masuknya pengaruh Hindu-Buddha ke Indonesia mengakibatkan terjadinya akulturasi. Masuk dan berkembangnya pengaruh terutama terlihat dari segi pemujaan terhadap roh nenek moyang dan pemujaan dewa-dewa alam. 
·         Pemerintahan. Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha, bangsa Indonesia mengenal sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan kepala suku berlangsung secara demokratis, yaitu salah seorang kepala suku merupakan pemimpin yang dipilih dari kelompok sukunya, karena memiliki kelebihan dari anggota kelompok suku lainnya. Akan tetapi, setelah masuknya pengaruh Hindu-Buddhha, tata pemerintahan disesuaikan dengan sistem kepala pemerintahan  yang berkembang di India. Seorang kepala pemerintahan bukan lagi seorang kepala suku, melainkan seorang raja, yang memerintahkan kerajaannya secara turun-temurun. ( Bukan lagi ditentukan oleh kemampuan, melainkan oleh keturunan).
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgY6la-v7OFeD3QRQM6D7RoqUWoEWN30OurSs5M_ru_NDKdsVwdUkpDHgSWFTHnZKay2EFphEnrYx-y5n0-u1UisF0mmRdfuiL6T_8a2x_VkTxmtvqYln5bxMa7M8EeWCnad44Pqj7n168/s320/candi+borobudur+-+desmon+ong.jpg
photo by : desmondong. Nationalgeographic

Faktor-faktor penyebab runtuhnya kerajaan bercorak Hindu-Buddha

Perkembangan pengaruh agama dan kebudayaan Hindu-Buddha cukup besar, karena dapat memengaruhi seluruh sektor kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan, tidak kurang dari seribu tahun pengaruh Hindu-Buddha dominan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan melalui perkembangan kerajaan Kutai hingga runtuhnya kerajaan Majapahit.

Terdapat beberapa hal yang menyebabkan runtuhnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha diwilayah Indonesia.
·         Terdesaknya kerajaan-kerajaan sebagai akibat munculnya kerajaan yang lebih besar dan lebih kuat.
·         Tidak ada peralihan kepemimpinan atau kaderisasi, seperti yang terjadi pada mas kekuasaan Kerajaan Majapahit
·         Berlangsungnya perang saudara yang justru melemahkan kekuasaan kerajaan, seperti yang terjadi pada kerajaan Syailendra dan Majapahit
·         Banyak daerah yang melepaskan diri akibat lemahnya pengawassan pemerintahan pusat dan raja-raja bawahan membangun sebuah kerajaan yang merdeka serta tidak terikat lagi oleh pemerintahan pusat
·         Kemunduran ekonomi dan perdagangan. Akibat kelemahan pemerintah pusat, masalah perekonomian dan perdagangan diambil alih para pedagangn Melayu dan Islam
·         Tersiarnya agama dan budaya Islam, yang dengan mudah diterima para dipati di daerah pesisir. Hal ini membuat mereka merasa tidak terikat lagi dengan pemerintahan kerajaan pusat seperti pada kekuasaan kerajaan Majapahit.
Setelah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha runtuh, seperti kerajaan Majapahit di daerah Jawa Timur dan kerajaan Pajajaran di derah Jawa Barat, bukan berarti tradisi Hindu-Buddha juga lenyap. Tradisi Hindu-Buddha masih terus bertahan sesuai dengan perkembangan zaman. Bahkan pada daerah-daerah yang telah mendapat pengaruh Islam, tradisi Hindu-Buddha tidak begitu saja menghilang. Misalnya pada masyarakat Jawa terdapat upacara membawa sesaji ke sawah atau upacara persembahan kepada penguasa Laut Selatan dan lain sebagainya.

Sementara itu, tradisi Hindu-Buddha masih terus bertahan dalam kehidupan masyarakat Bali. Setelah kerajaan Hindu Majapahit runtuh, banyak rakyat Majapahit yang pindah ke pulau Bali dan melanjutkan tradisi kehidupannya disana. Dalam kehidupan masyarakat Bali sering terdengar istilah Wong Majapahit atau sekelompok orang yang berasal dari Majapahit. Masyarakat Hindu Bali yang termasuk keturunan Majapahit memiliki tempat yang mayoritas. Sedangkan masyarakat Bali asli terdesak ke daerah-daerah pegunungan seperti ke daerah Trunyan, Tenganan (di daerah Bali bagian timur), Tigawasa, Sembiran (di daerah Bali Utara).

Bali juga dapat disebut sebagai museum hidup kebudayaan Hindu di Indonesia. Agama Hindu di Bali disebut dengan agama Hindu Dharma atau dengan Hindu dan Buddha. Roh nenek moyang dipuja oleh anak cucunya setelah jenazah dibakar (ngaben). Tempat pemujaannya dilakukan di Pura. Sementara itu, dewa-dewa dalam agama Hindu telah dimanifestasikan sebagai Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan Sang Hyang Widhi. Dalam penjelmaannya dapat disebut sebagai Dewa Brahma(pencipta), Dewa Wisnu(pemelihara), dan Dewa Siwa(pelabur/perusak). Di samping itu juga dipuja dewa-dewa yang telah disesuaikan dengan fungsi dan kedudukan dari dewa tersebut seperti Dewi Sri(dewa padi), Dewa Agni(dewa api), Dewa Baruna(dewa laut), Dewa Bayu(dewa angin), dan lain sebagainya.

Apabila kita perhatikan, ternyata perkembangan pengaruh Hindu-Buddha di wilayah Indonesia tidak meliputi seluruh masyarakat di kepulauan Indonesia. Bahkan dua kerajaan nasional yang pernah membawa harum nama Indonesia sampai ke luar wilayah Indonesia seperti Sriwijaya dan Majapahit, belum dapat mengembangkan pengaruhnya ke seluruh wilayah Indonesia. Pengaruh kerajaan Sriwijaya terbatas pada daerah-daerah di wilayah Indonesia bagian barat. Sedangkan kerajaan Majapahit yang berhasil mempersatukan seluruh wilayah Nusantara, ternyata kekuasannya hanya terbatas pada bidang politik yang dibuktikan dengan tunduknya mereka kepada Majapahit. Tetapi Majapahit tidak mengembangkan pengaruh budaya dan agama Hindu pada daerah-daerah yang dikuasainya. Sehingga ketika kerajaan Majapahit runtuh, mereka terus mengembangkan pola hidup seperti pada masa sebelum daerah tersebut dikuasai kerajaan Majapahit. Hal inilah yang menyebabkan perkembangan tradisi Hindu-Buddha tidak merata di kepulauan Indonesia. Daerah-daerah yang tidak mendapat pengaruh Hindu-Buddha di wilayah Indonesia antara lain Sulawesi, Kepulauan Maluku, Papua, dan Kepulauan Nusa Tenggara Timur.


_____________________________________________________________________________

Kebudayaan Islam di Indonesia

Penyebaran budaya Islam di Indonesia berlangsung secara damai dan evolutif. Islam berkembang lewat perantaraan bahasa Arab. Kontak awal Islam dengan kepulauan nusantara mayoritas berlangsung di pesisir pantai, khususnya melalui aktivitas perdagangan antara penduduk lokal dengan para pedagang Persia, Arab, dan Gujarat (India). Kontak-kontak ini memungkinkan proses asimilasi, sinkretisasi, dan akulturisasi budaya. Islam kemudian muncul sebagai competing culture India.

M.C. Ricklefs dari Australian National University menyebutkan dua proses masuknya Islam ke nusantara. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing (Arab, India, Cina) pemeluk Islam menetap di suatu wilayah Indonesia, kawin dengan penduduk asli, dan mengikuti gaya hidup lokal sedemikian rupa sehingga mereka sudah menjadi orang Jawa, Melayu, atau suku lainnya, lalu mendifusikan Islam.

Teori lain masuknya Islam ke nusantara diajukan Supartono Widyosiswoyo. Menurutnya, penetrasi Islam dibagi ke dalam tiga jalur yaitu: Jalur Utara, Jalur Tengah, dan Jalur Selatan. Ketiga jalur didasarkan pada pangkal wilayah persebaran Islam yang memasuki Indonesia. Jalur Utara adalah masuknya Islam dari Persia dan Mesopotamia. Dari sana, Islam bergerak ke timur lewat jalur darat Afganistan, Pakistan, Gujarat, lalu menempuh jalur laut menuju Indonesia. Lewat Jalur Utara ini, Islam tampil dalam bentuk barunya yaitu aliran Tasawuf. Dalam aliran ini, Islam didifusikan lewat pengalaman personal (eksperensial) dalam mendekati Tuhan. Aliran inilah yang paling cepat mendorong konversi penduduk Indonesia ke dalam Islam nusantara. Aceh adalah salah satu basis persebaran Islam Jalur Utara ini.

Jalur Tengah adalah masuknya Islam dari bagian barat lembah Sungai Yordan dan bagian timur semenanjung Arabia (Hadramaut). Dari sini Islam menyebar dalam bentuknya yang relatif asli, di antaranya aliran Wahhabi. Pengaruhnya mengena di wilayah Sumatera Barat. Jalur ini terjadi sebab jika bertolak dari Hadramaut, maka dengan perjalanan laut orang-orang Islam langsung sampai ke pantai barat Sumatera. Konflik kaum adat dengan kaum agama dalam Perang Paderi terjadi setelah pengaruh Islam lewat jalur ini.

Jalur Selatan pangkalnya di wilayah Mesir. Saat itu Kairo merupakan pusat penyiaran agama Islam modern dan Indonesia memperoleh pengaruhnya dalam organisasi keagamaan Muhammadiyah. Kegiatan lewat jalur ini terutama pendidikan, dakwah, dan penentangan bid’ah.

Petunjuk tegas munculnya Islam pertama di nusantara adalah nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir yang wafat tahun 608H atau 1211 M, di pemakaman Lamreh, Sumatera bagian Utara. Nisan ini menunjukkan adanya kerajaan Islam pertama nusantara. Mazhab yang berkembang di wilayah Sumatera bagian Utara ini, menurut Ibnu Battuta (musafir Maroko) adalah Syafi’i.

Semakin signifikannya pengaruh Islam di nusantara ditandai berdirinya sejumlah kesultanan. Jean Gelman-Taylor mencatat di Ternate (Maluku) penguasanya melakukan konversi ke Islam tahun 1460. Di Demak, penguasanya mendirikan kota muslim tahun 1470, sementara kota-kota pelabuhan di sekitarnya seperti Tuban, Gresik, dan Cirebon menyusul pada tahun 1500-an. Sekitar tahun 1515 pelabuhan Aceh memiliki penguasa Islam, disusul Madura pada 1528, Gorontalo 1525, Butung 1542. Tahun 1605 penguasa Luwuk, Tallo, dan Gowa (Sulawesi Selatan) masuk Islam dan 1611 semenanjung Sulawesi Selatan telah dikuasai penguasa Islam.

Pada perkembangannya, terjadi proses saling pengaruh antara Islam yang sudah terakulturasi dengan budaya lokal dengan Islam yang baru masuk dari wilayah Timur Tengah. Interaksi tersebut di kemudian hari mulai dirundung konflik penafsiran dan ini terutama semakin mengemuka di saat berkuasanya rezim Ibnu Saud yang menggunakan Wahhabi sebagai paham keislamannya pada awal abad ke-19. Tulisan ini tidak akan menyentuh bagaimana konflik yang berlangsung antara aneka tipologi Islam. Tulisan hanya menghampiri sejumlah pengaruh yang dibawa Islam ke dalam budaya-budaya yang berkembang di Indonesia.

1. Masuknya Islam ke Indonesia

Durasi penyebaran awal Islam Indonesia dalam kisaran abad ke-7 hingga 13 Masehi. Penyebarnya berasal dari Arab, Persia, dan India (Gujarat, Benggala). Profesi para penyebar umumnya pedagang, mubalig, wali, ahli-ahli tasawuf, guru-guru agama, dan haji-haji. Mereka menyebarkan Islam lewat sejumlah saluran. Saluran-saluran ini berlangsung dalam enam aras, yaitu perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, seni dan tawaran pembentukan masyarakat egalitarian dalam strata sosial.

Perdagangan. Perdagangan merupakan metode penetrasi Islam paling kentara. Dalam proses ini, pedagang nusantara dan Islam asing bertemu dan saling bertukar pengaruh. Pedagang asing umumnya berasal dari Gujarat dan Timur Tengah (Arab dan Persia). Mereka melakukan kontak dengan para adipati wilayah pesisir yang hendak melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Sebagian dari para pedagang asing ini menetap di wilayah yang berdekatan dengan pantai dan mendifusikan Islam mereka.

Tatkala para pedagang asing menetap – baik sementara waktu ataupun seterusnya – mereka membangun pemukiman yang disebut Pekojan. Banyak di antara pada saudagar Islam yang kaya sehingga menarik hati kaum pribumi, terutama anak-anak kaum bangsawan, untuk menikahi mereka. Masalahnya, para pedagang menganggap pernikahan dengan penganut berhala tidak sah. Mereka mensyaratkan bahwa untuk menikah, penduduk Indonesia harus masuk Islam dengan mengucapkan syahadat terlebih dahulu. Proses pernikahan singkat, tidak melalui upacara yang panjang-lebar, membuat kalangan pribumi semakin menerima keberadaan orang-orang asing berikut agama barunya ini. Mukimnya pedagang Islam dalam kegiatan perdagangan (sekadar transit atau menetap), membuat mereka berkembang biak di sekitar wilayah pelabuhan. Pola ini mampu mengembangkan pemukiman Islam baru (disebut koloni). Ini menjelaskan mengapa Kerajaan Islam nusantara selalu berawal dari wilayah-wilayah pesisir seperti Bone, Banjar, Banten, Demak, Cirebon, Samudera Pasai, Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo, Hitu, ataupun Deli.

Perkawinan. Seperti telah dipaparkan sebelumnya, perkawinan banyak dilakukan antara pedagang Islam dengan putri-putri adipati. Dalam pernikahan, mempelai pria Islam (juga wanitanya) mengajukan syarat pengucapan kalimat syahadat sebagai sahnya pernikahan. Anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut cenderung mengikuti agama orang tuanya yang Islam. Perkawinan antara saudagar Islam dengan anak-anak kaum bangsawan, raja, atau adipati menguntungkan perkembangan Islam. Status sosial, ekonomi, dan politik mertua-mertua mereka memungkinkan Islam melakukan penetrasi langsung ke jantung kekuasaan politik lokal (palace circle). Saat sudah berada di aras pusat kekuasaan politik, penerbitan kebijakan-kebijakan yang menguatkan penyebaran Islam mendapat prioritas dalam input, konversi, dan output kebijakan para sultan atau para adipatinya.

Tasawuf. Tasawuf merupakan epistemologi Islam yang banyak menarik perhatian kalangan pribumi. Metodenya yang toleran, tidak mengakibatkan cultural shock signifikan, membuat banjir penganut Islam baru. Tasawuf cenderung tidak menciptakan posisi diametral Islam dengan budaya India ataupun tradisi lokal yang dipraktekkan kalangan pribumi. Tokoh-tokoh tasawuf Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, ataupun beberapa tokoh Wali Sanga (termasuk juga Syekh Siti Jenar) mengambil posisi kunci dalam metode penyebaran ini. Lewat tasawuf pula, bentuk Islam yang diperkenalkan menunjukkan persamaan dengan alam pikiran orang-orang Jawa-Hindu, çiwa, dan Buddha. Akibatnya, Islam tidak dipandang sesuatu yang sama sekali asing bagi kalangan pribumi.

Pendidikan. Sebelum Islam masuk, Indonesia dikenal sebagai basis pendidikan agama Buddha, khususnya perguruan Nalendra di Sumatera Selatan. Pecantrikan dan Mandala adalah sekolah tempat para penuntut ilmu di kalangan penduduk pra Islam. Setelah Islam masuk, peran Pecantrikan dan Mandala tersebut diambil alih lalu diberi muatan Islam dalam kurikulumnya. Kini pesantren (Islam) berlaku sebagai pusat pembinaan guru agama, kiai, dan ulama. Selesai pendidikan, lulusan kembali ke kampung dan desa masing-masing untuk menjadi tokoh agama atau mendirikan pesantren sendiri. Misalnya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang mendirikan pesantren di Ampel Denta. Selain itu, pesantren yang didirikan Sunan Giri menjadi terkenal hingga Maluku dan menyebabkan penduduk Maluku (khususnya wilayah Hitu) datang berguru pada Sunan Giri. Atau, para kiai dari Giri diundang mengajar ke Hitu. Biasanya, yang diundang menjadi khatib, modin, atau kadi masyarakat Hitu dan diberi upah cengkih.

Seni. Tidak bisa dipungkiri, seni punya peran signifikan dalam penyebaran Islam. Orang Indonesia sebelum kedatangan Islam terkenal sebagai seniman-seniman jenius yang punya kemashuran tinggi. Lewat seni, Islam mampu menjangkau segmen lebih luas masyarakat pribumi, termasuk para elitnya. Sunan Kalijaga misalnya, menggunakan wayang sebagai cara dakwah baik atas penduduk biasa maupun elit sosial. Sunan Bonang menggunakan gamelan dalam melantunkan syair-syair keagamaan. Ini belum termasuk tokoh-tokoh lain yang mengadaptasi seni kerajinan lokal dan India yang diberi muatan Islam.

Egalitarianisme. Egalitarianisme akhirnya menempati posisi kunci. Problem utama di budaya sebelumnya adalah stratifikasi sosial berdasarkan kasta. Meski tidak terlampau ketat, Hindu di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi terbentuknya kasta sosial seperti Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra dan Paria. Masyarakat biasa kurang leluasa dengan sistem ini oleh sebab mengakibatkan sejumlah keterbatasan dalam hal pergaulan dan perkawinan. Lalu, Islam datang dan tidak mengenal stratifikasi sosial. Mudah dipahami, orang-orang Indonesia (terutama dari kasta bawah) yang hendak bebas merespon baik agama baru ini.

2. Pengaruh Islam di Bidang Bahasa

Konversi Islam nusantara awalnya terjadi di sekitar semenanjung Malaya. Menyusul konversi tersebut, penduduknya meneruskan penggunaan bahasa Melayu. Melayu lalu digunakan sebagai bahasa dagang yang banyak digunakan di bagian barat kepulauan Indonesia. Seiring perkembangan awal Islam, bahasa Melayu pun memasukkan sejumlah kosakata Arab ke dalam struktur bahasanya. Bahkan, Taylor mencatat sekitar 15% dari kosakata bahasa Melayu merupakan adaptasi bahasa Arab. Selain itu, terjadi modifikasi atas huruf-huruf Pallawa ke dalam huruf Arab, dan ini kemudian dikenal sebagai huruf Jawi.

Bersamaan naiknya Islam menjadi agama dominan kepulauan nusantara, terjadi sinkretisasi atas bahasa yang digunakan Islam. Sinkretisasi terjadi misalnya dalam struktur penanggalan Çaka. Penanggalan ini adalah mainstream di kebudayaan India. Secara sinkretis, nama-nama bulan Islam disinkretisasi Agung Hanyakrakusuma (sultan Mataram Islam) ke dalam sistem penanggalan Çaka. Penanggalan çaka berbasis penanggalan Matahari (syamsiah, mirip gregorian), sementara penanggalan Islam berbasis peredaran Bulan (qamariah). Hasilnya pada 1625, Agung Hanyakrakusuma mendekritkan perubahan penanggalan Çaka menjadi penanggalan Jawa yang sudah banyak dipengaruhi budaya Islam. Nama-nama bulan yang digunakan tetap 12, sama dengan penanggalan Hijriyah (versi Islam). Penyebutan nama bulan mengacu pada bahasa Arab seperti Sura (Muharram atau Assyura dalam Syiah), Sapar (Safar), Mulud (Rabi’ul Awal), Bakda Mulud (Rabi’ul Akhir), Jumadilawal (Jumadil Awal), Jumadilakir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya’ban), Pasa (Ramadhan), Sawal (Syawal), Sela (Dzulqaidah), dan Besar (Dzulhijjah). Namun, penanggalan hariannya tetap mengikuti penanggalan Çaka sebab saat itu penanggalan harian Çaka paling banyak digunakan penduduk sehingga tidak bisa digantikan begitu saja tanpa menciptakan perubahan radikal dalam aktivitas masyarakat (revolusi sosial).

Selain pembagian bulan, bahasa Arab merambah ke dalam kosakata. Sama dengan sejumlah bahasa Sanskerta yang diakui selaku bagian dari bahasa Indonesia, kosakata Arab pun akhirnya masuk ke dalam struktur bahasa Indonesia, yang sedikit contohnya sebagai berikut:


Bahasa Arab ini bahkan semakin signifikan di abad ke-18 dan 19 di Indonesia, di mana masyarakat nusantara lebih familiar membaca huruf Arab ketimbang Latin. Bahkan, di masa kolonial Belanda, mata uang ditulis dalam huruf Arab Melayu, Arab Pegon, ataupun Arab Jawi. Tulisan Arab pun masih sering diketemukan sebagai keterangan dalam batu nisan. 

3. Pengaruh Islam di Bidang Pendidikan 

Salah satu wujud pengaruh Islam yang lebih sistemik secara budaya adalah pesantren. Asal katanya pesantren kemungkinan shastri (dari bahasa Sanskerta) yang berarti orang-orang yang tahu kitab suci agama Hindu. Atau, kata cantrik dari bahasa Jawa yang berarti orang yang mengikuti kemana pun gurunya pergi. Fenomena pesantren telah berkembang sebelum Islam masuk. Pesantren saat itu menjadi tempat pendidikan dan pengajaran agama Hindu. Setelah Islam masuk, kurikulum dan proses pendidikan pesantren diambilalih Islam. 

Pada dasarnya, pesantren adalah sebuah asrama tradisional pendidikan Islam. Siswa tinggal bersama untuk belajar ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang disebut Kyai. Asrama siswa berada di dalam kompleks pesantren di mana kyai berdomisili. Dengan kata lain, pesantren dapat diidentifikasi adanya lima elemen pokok yaitu: pondok, masjid, santri, kyai, dan kitab-kitab klasik (kitab kuning). Seputar peran signifikan pesantren ini, Harry J. Benda menyebut sejarah Islam ala Indonesia adalah sejarah memperbesarkan peradaban santri dan pengaruhnya terhadap kehidupan keagamaan, sosial, dan ekonomi di Indonesia. Melalui pesantren, budaya Islam dikembangkan dan beradaptasi dengan budaya lokal yang berkembang di sekitarnya tanpa mengakibatkan konflik horisontal signifikan. 

4. Pengaruh Islam di Bidang Arsitektur dan Kesenian 

Masjid adalah tempat ibadah umat Islam. Masjid-masjid awal yang dibangun pasca penetrasi Islam ke nusantara cukup berbeda dengan yang berkembang di Timur Tengah. Salah satunya tidak terdapatnya kubah di puncak bangunan. Kubah digantikan semacam meru, susunan limas tiga atau lima tingkat, serupa dengan arsitektur Hindu. Masjid Banten memiliki meru lima tingkat, sementara masjid Kudus dan Demak tiga tingkat. Namun, bentuk bangunan dinding yang bujur sangkar sama dengan budaya induknya.

Perbedaan lain, menara masjid awalnya tidak dibangun di Indonesia. Menara dimaksudkan sebagai tempat mengumandakan adzan, seruan penanda shalat. Peran menara digantikan bedug atau tabuh sebagai penanda masuknya waktu shalat. Setelah bedug atau tabuh dibunyikan, mulailah adzan dilakukan. Namun, ada pula menara yang dibangun semisal di masjid Kudus dan Demak. Uniknya, bentuk menara di kedua masjid mirip bangunan candi Hindu. Meskipun di masa kini telah dilengkapi menara, bangunan-bangunan masjid jauh di masa sebelumnya masih mempertahankan bentuk lokalnya, terutama meru dan limas bertingkat tiga. 

Pusara. Makam adalah lokasi dikebumikannya jasad seseorang pasca meninggal dunia. Setelah pengaruh Islam, makam seorang berpengaruh tidak lagi diwujudkan ke dalam bentuk candi melainkan sekadar cungkup. Lokasi tubuh dikebumikan ini ditandai pula batu nisan. Nisan merupakan bentuk penerapan Islam di Indonesia. Nisan Indonesia bukan sekadar batu, melainkan terdapat ukiran penanda siapa orang yang dikebumikan. 

Seni Ukir. Ajaran Islam melarang kreasi makhluk bernyawa ke dalam seni. Larangan dipegang para penyebar Islam dan orang-orang Islam Indonesia. Sebagai pengganti kreativitas, mereka aktif membuat kaligrafi serta ukiran tersamar. Misalnya bentuk dedaunan, bunga, bukit-bukit karang, pemandangan, serta garis-garis geometris. Termasuk ke dalamnya pembuatan kaligrafi huruf Arab. Ukiran misalnya terdapat di Masjid Mantingan dekat Jepara, daerah Indonesia yang terkenal karena seni ukirnya. 

Seni Sastra. Seperti India, Islam pun memberi pengaruh terhadap sastra nusantara. Sastra bermuatan Islam terutama berkembang di sekitar Selat Malaka dan Jawa. Di sekitar Selat Malaka merupakan perkembangan baru, sementara di Jawa merupakan kembangan sastra Hindu-Buddha. Sastrawan Islam melakukan gubahan baru atas Mahabarata, Ramayana, dan Pancatantra. Hasil gubahan misalnya Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Perang Pandawa Jaya, Hikayat Seri Rama, Hikayat Maharaja Rawana, Hikayat Panjatanderan. Di Jawa, muncul sastra-sastra lama yang diberi muatan Islam semisal Bratayuda, Serat Rama, atau Arjuna Sasrabahu. Di Melayu berkembang Sya’ir, terutama yang digubah Hamzah Fansuri berupa suluk (kitab yang membentangkan persoalan tasawuf). Suluk gubahan Fansuri misalnya Sya’ir Perahu, Sya’ir Si Burung Pingai, Asrar al-Arifin, dan Syarab al Asyiqin.


_____________________________________________________________________________

Kebudayaan Barat di Indonesia

Pengaruh budaya barat Belanda Portugis serta Jepang atas kebudayaan Indonesia tidak dapat dihindari. Pengaruh barat terutama dari Portugis dan Belanda sudah bahkan sudah berlangsung sejak abad ke-16. Saat itu Indonesia, sebagai sebuah negara 'resmi' belumlah lagi berdiri. Indonesia saat itu masih dalam bentuk 'proto' yaitu kerajaan-kerajaan di zaman perdagangan nusantara. Tulisan ini akan mengetengahkan sejumlah 'kecil' pengaruh kebudayaan barat yang diwakili Portugis dan Belanda atas kebudayaan Indonesia. Selain itu, sebagai pembanding juga akan diketengahkan sejumlah pengaruh kebudayaan Jepang.

Pengaruh Belanda di Indonesia

Saat ini seringkali muncul stereotype bernada negatif atas budaya Barat. Di Indonesia, budaya Barat disebar seiring kekuasaan kolonial. Barat yang dimaksud di dalam tulisan ini adalah Negara-negara Eropa, terutama Belanda, yang melakukan kolonisasi atas kepulauan nusantara. Kendati demikian, terdapat pengaruh Barat tertentu yang terus membekas di dalam struktur kebudayaan Indonesia hingga kini. Misalnya sistem pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu komponen nonmaterial kebudayaan yang punya peran signifikan dalam melestarikan suatu budaya. Selain pendidikan, mekanisme administratif pemerintahan Belanda juga punya pengaruh tersendiri atas pembentukan sistem sosial (politik) Indonesia.

Bangsa Barat utama yang pengaruhnya cukup membekas adalah Portugis dan Belanda. Terutama Belanda, budaya kedua bangsa ini sebagian terserap ke dalam struktur budaya Indonesia. Namun, sisa-sisa pengaruh ini kurang begitu kuat mempengaruhi benak kesadaran orang Indonesia, mungkin akibat perbedaan blue print manusianya (barat versus timur). Budaya Barat, sesuai namanya, merupakan produk perkembangan di bilangan barat dunia yang menekankan individualitas dan kebebasan. Sementara Indonesia merupakan bagian bangsa timur yang menghendaki harmoni, komando, dan kolektivitas.

Koentjaraningrat mencatat, pengaruh budaya barat atas Indonesia diawali aktivitas perdagangan Portugis paruh pertama abad ke-16. Tahun 1511 Portugis menaklukan Malaka, pelabuhan dagang di barat kepulauan Indonesia. Penaklukan membuat Portugis mampu mengendalikan aspek-aspek penting kehidupan masyarakat di sana. Tatkala penaklukan terjadi, Islam tengah tumbuh sebagai agama dan budaya baru nusantara. Tidak perlu waktu lama, Islam berangsur jadi agama dominan di kepulauan Indonesia. Konflik yang kemudian terjadi kemudian kerap digeneralisasi menjadi konflik Barat versus Islam. Konflik bahkan masih terus berlangsung hingga tulisan ini dibuat.

Tahun 1641 orang Belanda merebut Malaka dari Portugis. Sebelumnya, tahun 1619 mereka sudah membangun benteng kuat di Batavia saat menguasai Banten, pelabuhan dagang nusantara lain yang penting. Tahun 1755, VOC mengadakan perjanjian Gianti dengan Mataram Islam, kerajaan yang merupakan salah satu rival mereka dalam menguasai jalur dagang. Dalam perjanjian Gianti, Mataram dipecah menjadi Yogyakarta, Surakarta, dan Mangkunegara. Tahun 1799, VOC (perusahaan swasta Belanda) bangkrut. Mulai tahun tersebut orang-orang Belanda mengatasnamakan Kerajaan Belanda dalam mengelola Indonesia.

Tahun 1824 Belanda menukar Singapura dengan Bengkulu. Singapura awalnya dikuasai Belanda dan Bengkulu oleh Inggris. Lokasi Bengkulu terisolasi di bagian selatan-barat pulau Sumatera. Tahun 1837 Belanda menguasai Sumatera Barat usai Perang Paderi. Tahun 1883, Tanah Batak masuk ke dalam kekuasaan Belanda, hanya setelah berpayah-payah menaklukan orang Batak Toba. Tahun 1894, Lombok masuk ke kekuasaan Belanda disusul Bali tahun 1906, lewat Perang Badung (Puputan Badung). Aceh terakhir masuk ke dalam kekuasaan Belanda pada 1903 (atau 1905), setelah perang kurang lebih 30 tahun sejak 1873. Dari paparan ini tampak kekuasaan Belanda atas Indonesia berlangsung gradual. Wilayah yang satu dikuasai terlebih dulu ketimbang lainnya. Kendati demikian, tetap ada wilayah yang tidak terjamah kekuasaan kolonial Belanda.

Bernard H.M. Vlekke membagi pengaruh Belanda di nusantara ke dalam tiga bagian.Pertama, di Sumatera dan Kalimantan pengaruh orang Eropa hampir tidak punya dampak pada kehidupan pribumi. Kedua, pengaruh di bagian timur kuat tetapi opresif. Ketiga, di Jawa di mana Belanda mampu mencengkeram hingga pedalaman dan menimbulkan perubahan struktur sosial serta ekonomi orang Indonesia.

Di Jawa, Maluku dan Sulawesi Utara berkembang pelapisan sosial. Lapisan pertama kaum buruh yang meninggalkan budaya tani untuk menjadi pelayan rumah tangga Eropa, tukang, atau buruh industri. Lapisan kedua kaum pegawai (priyayi) yang bekerja di belakang meja tulis dan harus menempuh pendidikan Belanda terlebih dahulu. Lapisan ketiga, kelas menengah baru pribumi yang melakukan kegiatan dagang di bidang-bidang yang belum digarap pengusaha Cina (dan Asia lain) seperti rokok kretek, batik, tenun, ataupun kerajinan tangan. Pola-pola pelapisan sosial seperti ini belum ada di Indonesia sebelum pengaruh Belanda.

Pendidikan. Salah satu pengaruh peradaban Belanda atas struktur budaya Indonesia adalah pendidikan. Sistem pendidikan Belanda bersaing dengan sistem pendidikan lokal Indonesia yang umumnya berupa pecantrikan dan mandala. Juga, sekolah-sekolah Belanda mulai menyaingi pesantren, lembaga pendidikan yang banyak dipengaruhi Islam.

Sekolah, sebagai basis proses pendidikan formal Indonesia saat ini, merupakan wujud nyata membekasnya pengaruh Belanda. Peserta didik dibagi ke dalam lokal-lokal menurut rombongan belajar, di setiap kelas peserta didik duduk dalam beberapa banjar menghadap ke depan, dan guru berdiri di muka kelas selaku narasumber utama belajar. Ini serupa dengan struktur kelas di dalam gereja sejak masa skolastik Eropa. Namun, sistem persekolahan Belanda awalnya bersifat segregatif. Ada sekolah khusus Belanda dan Eropa seperti Europesche Lagere School (ELS), untuk Tionghoa semisal Hollands Chinese School, ataupun Indlansche School untuk pribumi.

Ciri umum sistem pendidikan Belanda adalah pembagian jenjang pendidikan berdasarkan tahun. Misalnya suatu jenjang pendidikan dasar ditempuh selama lima atau enam tahun dan lanjutannya selama tiga tahun. Selain itu, terdapat prasyarat usia sebelum seorang peserta didik dimasukkan ke jenjang pendidikan tertentu. Sistem pendidikan barat di Indonesia lebih serius digarap Belanda sejak abad ke-18 dan semakin tegas tatkala Politik Etis diberlakukan tahun 1911 lewat tokoh liberalnya, Van Deventer. Sebelum Politik Etis, tujuan pembentukan sistem pendidikan Belanda bagi orang Indonesia sekadar untuk menyediakan tenaga ahli yang murah untuk mengerjakan administrasi kolonial. Ini guna mengantisipasi meluasnya wilayah kekuasaan Belanda. Luasnya wilayah kelola tentu diiringi kerumitan serupa dalam tata administrasinya.

Rumah Tinggal. Peninggalan budaya Belanda lain adalah rumah tinggal. Seperti diketahui, orang-orang Belanda kebanyakan tinggal di sentra-sentra kegiatan ekonomi di mana tanah dan material bangunannya cukup mahal. Selain orang biasa, konstruksi bangunan Belanda juga banyak dipakai oleh keluarga-keluarga priyayi Indonesia. Misalnya raja-raja Indonesia seperti di Banten dan Yogyakarta membangun rumah kediaman mereka serupa dengan konstruksi rumah-rumah Belanda. Bangunan Belanda kerap disebut puri Belanda, yang juga berfungsi sebagai basis pertahahan terakhir tatkala terjadi perang. Umumnya, gedung perkantoran Belanda di Indonesia dibangun bergaya Yunani-Romawi Kuno. Cirinya adalah bangunannya besar-besar, pilar besar dan tinggi di bagian depan, hiasan doria dan ionia dari Yunani.

Budaya Indis. Seputar pengaruh budaya Belanda, Djoko Sukiman menjelaskan terbitnya kebudayaan Indis. Indis adalah kebudayaan campuran antara budaya Belanda dengan Pribumi. Indis terutama berkembang di pulau Jawa antara abad ke-18 hingga 19. Kebudayaan Indis dapat diidentifikasi pada pelacakan pengaruh budaya Belanda atas tujuh unsur budaya universal (yang awalnya dimiliki kalangan pribumi) yaitu bahasa, peralatan dan perlengkapan hidup manusia, matapencarian hidup dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan dan religi. Namun, praktek budaya Indis lebih dialami masyarakat pribumi di Jawa, khususnya kalangan menengah ke atas.

Agama. Belanda merupakan rival Portugis dalam dominasi jalur-jalur dagang nusantara. Dominasi Portugis berhasil dipatahkan Belanda dengan merebut Malaka dari tangan mereka tahun 1611. Dominasi Portugis di Maluku juga beralih ke tangan Belanda tahun 1621, ketika Jan Pieterszoon Coen mendirikan pos perdagangan kumpeni (VOC) di Kepulauan Banda.

Naiknya dominasi Belanda membuat pergerakan misionaris Katolik Portugis tersendat untuk kemudian digantikan zending Protestan Belanda. Kekuatan pengaruh Katolik Portugis hanya tersisa di Flores dan Timor. Pengaruh Belanda di bidang agama terutama di Sumatera Utara (terutama di Tanah Batak), Sulawesi Utara (terutama di Manado dan Minahasa), Kepulauan Maluku (terutama di Ambon), Papua (termasuk Papua Barat), serta Sulawesi Tengah-Selatan (terutama Tana Toraja).

Pengaruh Portugis di Indonesia

Pengaruh Portugis di Indonesia berkisar antara pengaruh agama, kesenian (utamanya musik), ataupun bahasa. Selain bangunan, orang Portugis yang pernah datang membangun koloni ataupun sekadar transit dagang di Indonesia, juga mendirikan pemukiman. Ini misalnya Tugu di Jakarta Utara di mana orang Portugis dan turunannya membentuk koloni. Kendati kini menipis jumlahnya, dari wilayah tersebut dikenal beberapa budaya semisal musik Kroncong Tugu sebagai bentuk seni musik Portugis.

Kampung Tugu. Masyarakat kampung Tugu lokasinya di daerah Semper, Koja, Jakarta Utara dan masih dapat ditemui hingga kini. Penduduk awalnya berasal dari berbagai koloni Portugis di Malaka, Pantai Malabar, Kalkuta, Surate, Coromandel, Goa, dan Srilanka. Pada abad ke-17 mereka diboyong kolonial Belanda ke Batavia sebagai tawanan perang. Di Batavia mereka ditempatkan di Gereja Portugis (sekarang Gereja Sion di Jl. Pangeran Jayakarta). Kemudian sebagian besar mereka pindah ke Kampung Tugu.

Kesenian. Victor Ganap menyatakan musik keroncong berasal dari musik Portugis abad ke-16 yang disebut fado, berasal dari istilah Latin yang berarti nasib. Musik ini tadinya populer di lingkungan perkotaan Portugis (sekarang Portugal). Fado sendiri awalnya adalah nyanyian (mornas) yang dibawa para budak negro dari Cape Verde, Afrika Barat ke Portugis sejak abad ke-15.

Lambat-laun, fado berkembang menjadi lagu perkotaan dan pengiring tari-tarian. Tarian yang diiringi fado dipengaruhi budaya Islam yang dibawa bangsa Moor asal Afrika Utara saat menaklukan Selat Gibraltar di bawah pimpinan panglima Tariq ibn Ziyad pada abad ke-7 Masehi. Setelah dipengaruhi Islam, tarian tersebut dinamakan moresco. Moresco adalah tarian hiburan para elit Portugis yang biasanya dibawakan penari bangsa Moor.

Moresco di Portugis masa itu adalah kata yang digunakan untuk melukiskan seni yang dianggap bernafaskan keislaman. Lawannya adalah cafrinho, asal katanya kafr (kafir) yang digunakan untuk melukiskan seni yang dibawakan kaum creolis Portugis di Goa, India. Alat musik pengiring moresco adalah gitar kecil bernama cavaquinho yang dibawa para pelaut Portugis dalam penjelajahan dunia mereka. Ketika masuk Indonesia, alat musik tersebut digunakan untuk menyanyikan lagu pengiring tarian moresco. Karena suara yang dikeluarkan berbunyi crong-crong sehingga oleh orang Indonesia musik pengiring tarian tersebut kemudian dinamakan Keroncong. Musik Keroncong tetap hidup, dimainkan, dan memiliki penggemarnya di Indonesia hingga masa kini. Bahkan televisi nasional Indonesia (TVRI) menyiarkan acara khusus musik keroncong ini minimal satu kali dalam seminggunya. Ini belum termasuk radio-radio siaran swasta nasional yang membawakannya.

Paramita Rahayu Abdurachman – lewat salah satu penelitiannya – mencatat sekurang-kurangnya jejak peninggalan budaya Portugis yang masih membekas di bumi nusantara dapat ditelusuri di Jakarta, Maluku Utara, Maluku Tengah, Ambon, Solor dan Flores. Di Jakarta, peninggalan budaya Portugis selain Keroncong adalah Tanjidor dan Ondel-ondel.

Dalam bahasa Portugis dikenal kata tanger yang artinya memainkan alat musik dan tangedor (lafalnya: tanjedor) yang artinya seorang yang memainkan alat musik snaar (tali) di luar ruangan. Di Portugal, tangedores hingga saat ini ditampilkan untuk mengiringi pawai keagamaan setiap tanggal 24 Juni. Alat yang dipakai adalah tanbur Turki, tanbur sedang, seruling, dan berbagai terompet. Uniknya, pawai diikuti boneka-boneka besar yang selalu berpasangan (laki-laki dan perempuan), dibawakan dua orang di mana satu duduk di pundak dan satunya di bawah serupa dengan ondel-ondel Betawi masa lalu. Ondel-ondel ini bergerak menandak-nandak diiringi musik tanjidor. Abdurachman mencatat baik tanjidor maupun ondel-ondel sekarang sudah diIndonesiakan, karena pengiringannya sudah ditambah gamelan, gong, dan kécrék.

Bahasa. Beberapa kosa kata Indonesia diambil dari bahasa Portugis. Kosa kata ini misalnya biola (viola), meja (mesa), mentega (manteiga), pesiar (passear), pigura (figura), pita (fita), sepatu (sapato), serdadu (soldado), cerutu (charuto), tolol (tolo), jendela (janela), algojo (algoz), bangku (banco), bantal (avental), bendera (bandeira), bolu (balo), boneka (boneca), armada, bola, pena, roda, ronda, sisa, tenda, tinta, dan masih banyak lagi.

Agama. Denys Lombard menulis, umat Kristen tertua Indonesia adalah Katolik. Komunitas awal mereka terbangun di lokasi mana orang Portugis mendirikan gereja pertama mereka.Tidak seperti Filipina atau Vietnam, jumlah orang Kristen Indonesia secara proporsional selalu minoritas. Tahun 1510, Portugis menguasai Goa (India). Di sana mereka dirikan pangkalan dagang, instalasi militer, dan pusat misi. Tahun 1511, mereka berhasil mencapai Malaka dan Nopember 1511, Portugis berangkat dari Malaka ke Maluku, tepatnya Kepulauan Banda. Mereka tiba tahun 1512. Saat Portugis datang, penduduk Banda telah menganut agama Islam.

Dari Banda, Portugis menuju Ternate. Di perjalanan, mereka singgah di Ambon, yang sebagian besar penduduknya juga sudah beragama Islam. Bahkan, di Maluku utara telah berkuasa sultan-sultan Islam di Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Sultan Ternate dan Tidore tidak menyukai cokolan Portugis di Malaka karena memutus jalur utama perdagangan saudagar Islam. Namun, tahun 1512 Portugis berhasil masuk lewat jalinan aliansi dagang dengan Abu Lais, sultan Ternate. Portugis menawarkan pembelian cengkeh dari Ternate dengan harga tinggi. Dari tawaran ini, Sultan berharap bisa menyaingi kemakmuran Tidore dan Jailolo, dua pesaingnya. Tidore dan Jailolo lalu membalas dengan menyekutui Spanyol yang hadir di Tidore tahun 1521.

Tanggal 24 Juni 1522 di Ternate dilakukan peletakan batu pertama benteng Portugis (dinamakan Sao Paulo), lengkap dengan upacara keagamaan Katolik. Pada masa pemerintahan Sultan Tabarija (1523 – 1535) terjadi pembaptisan pertama atas sangaji (kepala suku) wilayah Moro, Halmahera tahun 1534. Misi di luar Halmahera diteruskan tahun 1546 setelah datangnya Fransiscus Xaverius. Komunitas Kristen yang dipengaruhi Portugis tersebar di Kepulauan Maluku dan daerah tertentu di Kepulauan Sunda Kecil (khususnya Nusa Tenggara Timur). Tidak lama setelah agama Katolik berkembang, Protestan masuk ke Indonesia lewat perantaraan Belanda.



1 komentar: